Breaking News

Daarul Qur’an, Sudah Mahal Masih Minta Sedekah!

 

 

Oleh: HM Joesoef (Wartawan Senior)

Yusuf Mansur mulai membuat kelas-kelas “The Power of Giving, The Miracle of Giving”, lagi. Di awali dari Medan, Ahad 17 November 2019 di Hotel Grandika, lalu akan digelar di berbagai kota. Ini adalah jualan dengan menu lama yang selalu dikemas-ulang.

Sebagaimana ceramah “perdanya” di Medan, Yusuf memberi penekanan pada pentingnya memberi dan balasan yang akan diterima oleh mereka yang ringan bersedekah. Berkali-kali lipat, bahkan lebih dari 70 kali lipat. Sampai di sini ceramahnya benar. Tetapi buntutnya yang tidak enak. Di ujung ceramahnya, atau, ketika di Medan, seusai ceramah, baru diumumkan bahwa Pondok Pesantren (PP) Daarul Qur’an yang diasuhnya, membutuhkan dana. Ia meminta para peserta atau jamaahnya untuk memberikan sedekahnya kepada proyek yang sedang ia gagas: Ruang kelas untuk Pondok Pesantren Daarul Qur’an yang ada di Cipondoh, Kota Tangerang, Banten. Menganjurkan sedekah, tetapi untuk proyek-proyeknya Yusuf Mansur sendiri.

Meski kelas-kelas “The Power of Giving” tidak seheboh dan seramai empat atau lima tahun lalu, tetapi setiap kelas masih bisa mendatangkan 100-an peserta. Mereka dari jamaah dan pelaku lapak PayTren. Di acara The Power of Giving yang digelar di Medan, misalnya, Yusuf memperkenalkan paket sedekah untuk pembangunan ruang kelas. Ada 30 kelas yang hendak dibangun, dengan kapasitas per kelas untuk 30 santri penghafal Qur’an. Wakaf per unit sebesar Rp 81 juta. Yusuf pun menganjurkan agar satu kelas bisa diborong oleh satu keluarga agar nama keluarga tersebut bisa disematkan sebagai nama bangunan atau kelas.

***

Pondok Pesantren Daarul Qur’an yang berdiri tahun 2003 di Cipondoh itu kini sudah punya cabang di Cikarang (khusus putri), Semarang, Lampung, Jambi, dan Banyuwangi. Di Cipondoh, sebagai pesantren pusat untuk laki-laki, ada lebih dari 1000 santri. Sementara di cabang-cabang, masing-masing punya santri sekitar 250 anak.

PP Daarul Qur’an yang ada di Cipondoh itu, dikelilingi oleh pondok-pondok pesantren Tahfizh yang dikelola dengan sangat sederhana. Berbeda dengan PP Daarul Qur’an yang berdiri megah di atas tanah lebih dari 4 hektar, itu.

Juga, yang tidak kalah menariknya, di Daarul Qur’an biaya masuknya cukup mahal untuk ukuran rata-rata penduduk Indonesia. Biaya masuk untuk santri SD misalnya, pendaftaran Rp 850.000, uang masuk Rp 40 juta dan SPP per bulan Rp 4 juta. Sedangkan untuk SMP dan SMA, pendaftaran Rp 850.000, uang masuk Rp 31,5 juta, dan SPP per bulan Rp 2,7 juta.

Lazimnya di dunia pendidikan, uang masuk itu lebih diprioritaskan untuk membangun uang gedung atau kelas. Dengan uang masuk Rp 40 juta per santri, misalnya, cukup 2 santri bisa membangun satu kelas. Di Daarul Qur’an, ruang-ruang kelas justru minta sedekah dan wakaf dari para jamaah atau donator. Ini yang menjadi ironi.

Mendidik dan mencetak para hafizh itu mengajari mereka tentang Al-Qur’an. Pertanyaannya, bolehkah meminta bayaran atau upah untuk mengajari Al-Qur’an? Ada pendapat yang membolehkan tetapi sekadarnya, tapi tidak sedikit pula yang menghramkannya. Adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (wafat 22 Dzulqadah 728 H/26 September 1328 M), dalam Majmu al-Fatawa juz 30, menulis, “Adapun mengajar Al-Qur’an dan ilmu agama tanpa upah adalah pekerjaan yang paling utama dan paling disukai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak seorang pun yang tinggal di negeri Islam yang tak mengetahuinya. Para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan ulama-ulama lainnya yang di kalangan umat terkenal sebagai orang-orang yang memahami Al-Qur’an, hadits, dan fikih, hanya mengajar tanpa upah, dan sama sekali tidak ada di antara mereka yang mengajar dengan upah. Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidak pernah mewariskan dinar atau dirham, tetapi hanya mewariskan ilmu. Maka, barangsiapa yang mengambil ilmu berarti ia telah mengambil keuntungan yang berlimpah. Dan para nabi mengajarkan ilmu tanpa upah.”

Karena itu, pesantren-pesantren tahfizh pada umumnya, juga yang ada di sekitaran Daarul Qur’an di Cipondoh, kondisinya bersahaja, biaya yang dikeluarkan oleh wali santri hanya untuk keperluan santri sehari-hari dan itu pun tidak mahal. Bagi mereka yang tidak mampu, digratiskan. Tetapi, justru di pesantren-pesantren yang nampak bersahaja ini telah menelorkan santri-santi yang benar-benar unggul dalam hafalan Al-Qur’annya.

Mirisnya, santri-santri yang ada di Daarul Qur’an, hampir bisa dipastikan tidak ada dari kalangan tetangga-tetangga Daarul Qur’an sendiri. Alasannya jelas, mereka tidak mampu memasukkan anak-anak mereka ke Daarul Qur’an, karena biayanya terlalu mahal. Mereka memasukkan anak-anak mereka ke pesantren di sekitaran Daarul Qur’an, berbaur dengan anak-anak lainnya yang datang dari berbagai pelosok tanah air.

Oleh sebab itu menjadi ironi tersendiri untuk masuk dan menjadi santri di Daarul Qur’an begitu mahalnya, bahkan mungkin termahal di dunia untuk sekolah tahfizh, masih minta sedekah pula untuk membangun ruang kelas.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur