KH. Athian Ali: Mendiamkan Yusuf Mansur Sama Juga Membiarkan Umat Dalam Ketidakmengertian

kh athian
KH. Athian Ali (Foto : Republika.co.id)

thayyibah.com :: Setelah buku ‘Yusuf Mansur Menebar Cerita Fiktif Menjaring Harta Umat’ beredar Maret lalu, penulis pernah diundang oleh KH. Abdul Rasyid AS ke rumahnya di Bali Matraman, Jakarta pada Senin 16 Mei. Pimpinan Perguruan Asy Syafi’iyah Jakarta itu memita penulis menjelaskan latar belakang, proses dan tujuan buku itu ditulis. Pada hari yang sama KH. Abdul Rasyid meminta penulis agar bersilaturahim dengan Dr. K.H. Athian Ali Muhammad Da’i, Lc. MA (Kiyai Athian). Sayang, karena kesibukannya Kiyai Athian baru bisa penulis temui pada Rabu (1/6) di rumahnya yang persis di belakang Masjid Al Fajar, Jalan Cijagra Raya 39 Buah Batu, Bandung.

Kepada Ketua Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) dan Aliansi Nasional Anti Syiah (Annas) ini penulis kembali menjelaskan latar belakang, proses dan tujuan buku itu ditulis. Setelah mendengar penjelasan penulis, Kiyai Athian kemudian menyampaikan pendapatnya sebagai berikut.

Saya sesungguhnya prihatin dengan yang bersangkutan (Yusuf Mansur). Karena saya yakin betul apa yang dilakukannya selama ini, yakni mengumpulkan dana masyarakat dengan dalih sedekah, sama sekali tidak dibenarkan oleh agama. Sepanjang yang saya tahu, apa yang dilakukan Yusuf Mansur itu tidak pernah dibicarakan dan dicontohkan oleh para ulama. Para ulama, yang saya tahu, punya pendapat tentang sedekah yang justru bertolak belakang dengan Yusuf Mansur.

Orang bisa saja tertarik bersedekah kepada Yusuf Mansur karena mereka diiming-imingi dengan dalil yang dijungkirbalikkan. Menurut Yusuf Mansur orang bersedekah akan dapat dari Allah harta yang berlipat ganda dan kekayaan, atau kesembuhan penyakit, mendapat jodoh dan bermacam kenikmatan lainnya yang pasti terjadi dalam urutan waktu tertentu. Padahal semua ulama berpendapat bahwa, yang dilipatgandakan oleh Allah atas kebaikan bersedekah adalah pahala akhirat, itupun bagi orang-orang yang ikhlas melakukannya.

Semua ulama juga berpendapat, bahwa ibadah itu akan mendapat nilai kalau dilakukan dengan ikhlas. Bahkan kalangan sufi menilai, jika seseoran beribadah dengan harapan mendapat surga atau takut masuk neraka, maka nilainya makruh. Sedangkan ulama fiqih berpendapat boleh beribadah dengan niat masuk surga atau takut masuk neraka, karena Allah dalam Qur’an juga menjanjikan surga bagi yang beribadah dan beri ancaman neraka bagi yang lalai. Hanya saja, keikhlasan dalam beribadah tetap menjadi syarat utama. Qur’an juga memberi contoh doa para nabi yang mengharapkan surga. Tapi tak ada satupun yang dicontohkan para nabi, bahwa ibadah itu dengan harapan mendapat kenikmatan dunia. Juga tak ada satupun ulama yang mengajarkan itu, yakni ibadah dengan tujuan kenikmatan dunia.

Jadi, di mana nilai ibadahnya jika seseorang bersedekah dengan harapan kenikmatan dunia? Apakah itu uang dan harta yang berlipat, apakah untuk kesembuhan dari sakit, apakah itu untuk dapatkan jodoh, untuk melunasi hutang dan sebagainya.

Saya sebenarnya sudah lama sekali prihatin dengan denga pola pengumpulan dana dengan dalih sedekah ini. Karena itu saya sudah menulis sebuah buku yang bertujuan memberikan pemahaman kepada umat tentang apa yang dinamakan ‘ikhlas’ sebagai syarat dalam beribadah sedekah itu. Buku ini saya masukkan referensi dari berbagai ulama yang berbicara tentang sedekah. Sehingga ke depan umat yang awam tidak lagi terjebak dalam iming-iming yang memodohkan mereka.

Suatu ketika saya diundang berbicara dalam acara semiloka Majelis Ulama Indonesia (MUI). Saat itu saya sampaikan keprihatinan saya soal gerakan pengumpulan dana Yusuf Mansur ini. Saya juga bertanya, kenapa MUI bisa diam dengan hal ini? Saya berkeyakinan bahwa MUI berdosa jika Yusuf Mansur didiamkan terus tanpa ada upaya menegurnya. Mendiamkan Yusuf Mansur sama juga dengan membiarkan umat dalam ketidakmengertian. Karena yang menjadi korban dalam gerakan pengumpulan dana Yusuf Mansur ini adalah umat yang bukan sedang buang-buang uang, tapi adalah mereka yang sedang terdesak (dalam masalah kehidupan) dan terbuai dengan janji-janji yang akan mengeluarkan mereka dari masalah kehidupan yang mereka hadapi.

Andai Yusuf Mansur itu tinggal di Bandung saya akan memanggilnya (guna menasehati) sebagaimana yang pernah saya lakukan terhadap seorang yang dipanggil “kiyai” di Bandung sini beberapa waktu lalu. Menurut kesaksian banyak orang dia terdaftar pada urutan 10 orang yang menerima hasil judi (di Bandung). Namun belum sempat kami bertemu “kiyai” itu terbentur masalah lain.

Kenapa saya mau memanggil Yusuf Mansur kalau dia tinggal di Bandung? Karena tidak sedikit masyarakat yang datang dan mengadu kepada saya. Mereka merasa menjadi korban dari iming-iming Yusuf Mansur selama ini.

***

Athian Ali kemudian bercerita, pernah di Bandung ada sepasang suami istri yang terkena musibah, anak mereka menderita sakit yang cukup mengkhawatirkan. Sahabat suami istri ini menyarankan agar keduanya datangi Yusuf Mansur. Bertemu Yusuf Mansur, keduanya diminta “bersedekah” ke lembaga milik Yusuf Mansur. Karena untuk lembaga, keduanya bertanya berapa jumlah yang diinginkan dan Yusuf Mansur menyebut angka 200 juta. Percaya dengan iming-iming Yusuf Mansur dan suami istri ini tidak punya uang sebanyak itu, terpaksa si istri mengambil sertifikat rumah milik orang tuanya secara diam-diam.

Beberapa waktu berselang setelah uang itu diberikan, anak mereka tak kunjung sembuh. Kembali suami istri ini mendatangi Yusuf Mansur. Alih-alih memberi nasihat yang baik, Yusuf Mansur kembali meminta sejumlah uang. Tak tanggung-tanggung, 1 milyar jumlahnya.

Merasa cukup tertekan dengan permintaan Yusuf Mansur kedua kali ini, si istri akhirnya berterus terang kepada bapaknya. Bapaknya bilang, ia merasa gagal menyekolahkannya sampai sarjana karena begitu percaya dan menuruti permintaan Yusuf Mansur. Akhirnya anak mereka yang sakit itu dibawa juga ke rumah sakit. Namun akibat sakit yang sudah berlarut-larut tanpa penanganan medis, anak itupun akhirnya meninggal.

Setelah itu, kepada Yusuf Mansur pasangan ini meminta kembali uang mereka sambil mengancam, jika uang tidak dikembalikan utuh maka mereka akan bawa ke jalur hukum. Uang tersebut akhirnya dipulangkan Yusuf Mansur. Namun itu tidak membuat mereka berhenti untuk “menggugat” Yusuf Mansur. Suami istri ini kemudian mendatangi KH. Athian dan membuat pernyataan, bahwa mereka bersedia bersaksi untuk siapapun, bahwa apa yang dilakukan Yusuf Mansur selama ini dengan meminta sedekah disertai iming-iming fantastis itu adalah kebohongan belaka.

 ***

Sekali lali, saya memang mau agar MUI segera memanggil Yusuf Mansur dan menasehatinya serta meluruskan pemahaman-pemahamannya yang keliru atas nama agama. Akan tetapi sampai saat ini saya belum dengar Yusuf Mansur dipanggil MUI.

Orang yang mau bersedekah ya silahkan saja tapi jangan didorong dengan iming-iming bisa kaya, bisa bertemu jodoh, bisa lunas hutang dan sebagainya. Hadis Nabi sudah sangat jelas dan sangat populer, sesungguhnya amal seseorang tergantung niatnya. Semua amal dan ibadah di mata Allah akan tergantung niat orang yang melakukannya, termasuk sedekah. Hanya saja jika niatnya untuk keduniaan maka hanya itu yang didapat. Apalagi dengan niat keduniaan yang lebih spesifik, seperti ingin kaya, untuk dapat jodoh, untuk bayar hutang dan sebagainya, maka hanya itu yang didapati sedangkan pahala akhiratnya tak ada. Bagaimana orang bersedekah dengan niat keduniaan tapi berharap mendapat pahala akhirat? Jadi sekali lagi, kecuali kalau umat ini berniat buang-buang uang, tapi kalau berharap dapat pahala, saya yakin itu hasilnya nol belaka.

Islam tidak mengajarkan kesenangan dunia sebagai tujuan ibadah. Bahkan untuk menggapai ridho Allah, dunia perlu kita korbankan. Dalam Qur’an dijelaskan, orang-orang yang beriman yang mengorbankan harta dan jiwanya akan diganti Allah dengan surga.[]

———————————————————————–

Catatan. Artikel ini sudah dikirim penulis terlebih dahulu ke Yusuf Mansur untuk diminta tanggapannya pada tanggal 3 Juni. Sayangnya permintaan penulis yang dikirim ke nomor WhatsApp Yusuf Mansur 081510511xxx dan emailnya: sejutayusufmansur@gmail.com, samasekali tidak ditanggapinya hingga artikel ini diturunkan.

About Darso Arief

Lahir di Papela, Pulau Rote, NTT. Alumni Pesantren Attaqwa, Ujungharapan, Bekasi. Karir jurnalistiknya dimulai dari Pos Kota Group dan Majalah Amanah. Tinggal di Bekasi, Jawa Barat.