Breaking News

Emosi dan Panik

Oleh: Joko Intarto

Menurut teori marketing, penjualan yang sukses dimulai dari pengenalan yang baik seorang pemasar terhadap produk dan segmen dan target pasarnya. Teori ini ternyata juga dipraktikkan para penjahat di dunia maya untuk menipu korban.

Seorang mantan karyawan saya bercerita, kemarin siang. Ada kawan kerjanya di perusahaan saya (waktu itu) yang tertipu Rp30 juta. Korban penipuan itu tidak hanya satu orang, melainkan ratusan orang yang ada di satu grup WhatsApp.  Korban dijanjikan ”pimpinan grup WhatsApp” bakal memperoleh fasilitas pendidikan untuk anaknya di sebuah universitas di Filipina.

Padahal, grup itu tercatat sebagai ”angkatan kelima”. Berarti sudah ada empat grup sebelumnya, yang masing-masing kemungkinan beranggotakan ratusan orang juga. Mungkin juga ada grup angkatan keenam, ketujuh dan seterusnya. Bisa dibayangkan, berapa ribu orang yang kena tipu.

Kok bisa?

Modus kejahatan dalam dunia maya saat ini sudah semakin canggih. Teknik penipuan tidak dilakukan secara langsung dalam satu tahap, melainkan secara tidak langsung dalam beberapa tahap.

Berdasar pengamatan saya, modus penipuan online dimulai dari pengumpulan database. Teknik yang digunakan sangat mudah, yakni dengan mengunggah konten menarik di media sosial yang dirancang bakal menarik respon publik.

Konten dengan tema apa yang membuat publik mau merespon? Dari beberapa kasus penipuan online, tema-tema tersebut adalah:

1. Bimbingan keagamaan

2. Bimbingan kerja dan karir

3. Bimbingan beasiswa luar negeri

4. Bimbingan kesehatan dan terapi

5. Bimbingan usaha waralaba

6. Bimbingan berinvestasi

Bila diperhatikan dengan seksama, terlihat bahwa tema di atas berbeda sama sekali dengan tema-tema berikut ini:

1. Menang undian berhadiah.

2. Kesempatan mengikuti lelang harga murah.

3. Belanja barang diskon besar kesempatan terakhir.

4. Butuh dana cepat untuk gawat darurat.

5. Tebus perkara kriminal.

6. Transfer pulsa dan uang receh.

Tema-tema pada kelompok kedua umumnya menyasar calon korban yang berkarakter reaktif dan gampang panik. Kerugiannya memang relatif tidak seberapa. Sedangkan tema-tema pada kelompok pertama, nilainya jauh lebih besar. Bisa puluhan juta. Tetapi calon korbannya lebih hati-hati dan ”tidak mudah ditipu”.

Untuk mengelola tanggapan masyarakat, pelaku melengkapi postingannya di media sosial dengan link saluran komunikasi personal. Biasanya menggunakan aplikasi yang popular seperti Telegram, WhatsApp, Google Form dan JOT Form.

Pembaca yang tertarik akan mengirimkan permintaan bergabung dalam grup WhatsApp. Melalui lalu lintas informasi dalam grup tersebut, pelaku bisa mengetahui karakter, masalah, minat dan motivasi setiap member. Dari sini pelaku bisa memprediksi, siapa saja yang berpeluang menjadi korban selanjutnya.

Begitu pun yang diminta mengisi formulir. Berdasar informasi (jawaban) atas pertanyaan dalam formulir itu, pelaku bisa mengetahui karakter, masalah, minat dan motivasi calon korbannya. Dari sini, pelaku bisa memperkirakan siapa yang akan menjadi korban berikutnya.

Sudah cukup lama beredar di media sosial sebuah informasi tentang obat diabetes, stroke, tekanan darah tinggi, nyeri sendi hingga gagal ginjal yang menampilkan dr Terawan, mantan Menteri Kesehatan, sebagai endorser. Melihat respon publik atas postingan itu, ternyata ada puluhan ribu orang yang menyukai.  Juga ada ribuan orang yang bertanya:

”Bisa dibeli di mana, Kak?”

”Berapa harganya, Kak?”

”Apakah barangnya ready?”

”Bisa kirim hari ini?”

Publik yang merespon itu menurut saya adalah komplotan penjahat itu sendiri, dengan tujuan lebih meyakinkan calon korban. Namun dalam perkembangannya, saya yakin banyak masyarakat yang akhirnya tertipu.

Ada pula konten yang seolah-olah berisi informasi penting, tetapi link responnya terhubung denngan aplikasi yang bersifat virus. Tidak hanya merusak sistem operasi pada gadget, aplikasi jahat itu dilaporkan juga bisa ”menguras” saldo m-banking pengaksesnya.

Konten-konten yang biasanya diunggah adalah:

1. Undangan (reuni, pesta, dll)

2. Pemberitahuan (perizinan, pelanggaran, perpajakan, dll)

3. Panggilan (polisi, dll)

Pelajaran penting dari kasus kejahatan melalui media online adalah: Jangan emosian. Jangan panikan. Dunia digital berisi sekumpulan data tanpa wujud fisik. Karena itu, satu orang di dunia nyata bisa menjadi 1.000.000 akun di dunia maya. Celakalah kalau Anda berkawan dengan 999.999 akun palsunya.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur