Breaking News
Patungan Usaha Yusuf Mansur, Illegal. (Foto : Tempo)

Yusuf Mansur, Patungan Usaha yang Ilegal

Oleh: HM Joesoef (Wartawan Senior)

 

Patungan Usaha Yusuf Mansur, Illegal. (Foto : Tempo)

Setelah tujuh tahun, rupanya, kasus patungan usaha dan patungan aset ala Yusuf Mansur masih saja meninggalkan persoalan yang tak kunjung usai. Mereka yang merasa dirugikan terus saja menyoal dan melaporkan ke pihak kepolisian. Skala penyelesaian yang pernah ditawarkan oleh Yusuf Mansur pada 18 Oktober 2017 tak pernah ada realisasinya.

Patungan usaha digulirkan pada tahun 2012 dan gencar-gencarnya pada tahun 2013. Saat gencar-gencarnya kampanye tentang patungan usaha itu Yusuf Mansur dijewer oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada paruh Juli 2013. Usaha ini pun dihentikan. Tapi Yusuf Mansur sudah berhasil menghimpun dana umat sebesar Rp 24 milyar yang masuk ke rekening atas nama pribadi Yusuf Mansur.

Waktu itu, pihak OJK melihat patungan usaha yang diinisiasi oleh Yusuf Mansur termasuk kegiatan pengumpulan dana masyarakat. Oleh sebab itu, ia mesti mengikuti Undang-Undang Pasar Modal, khususnya Pasal 71 tentang penawaran umum. Di pasal tersebut disebutkan, hanya badan hukum berbentuk perseroan yang boleh melakukan pengumpulan dana masyarakat. Dan itu yang tidak dipenuhi oleh patungan usaha ala Yusuf Mansur.

Adapun investasi patungan usaha digulirkan oleh Yusuf Mansur pada pertengahan 2012. Siapa saja bisa bergabung jadi investor. Prosedurenya? Mudah saja. Seorang calon investor bisa mendaftar secara online di situs www.patunganusaha.com. Bisa juga dengan cara datang langsung ke kantor Yusuf Mansur di kawasan bisnis CBD Cileduk, Kota Tangerang, Banten.

Ada dua skema investasi yang ditawarkan. Yakni, patungan usaha dan patungan aset. Modal disetor beda, peruntukannya juga tidak sama. Investasi dalam bentuk patungan usaha, para investor menyetor modal sebesar Rp 10 juta sampai Rp 12 juta per lembar saham. Tentu saja, bagi yang punya uang lebih, seseorang bisa berinvestasi lebih dari 1 lembar saham.

Namanya juga patungan usaha, maka ada janji untuk memberikan keuntungan kepada investor. Yakni, diberikan margin 8% per tahun selama kontrak investasi yang berdurasi 10 tahun. Setelah masa kontrak 10 tahun, investor akan mendapat pengembalian sejumlah nilai yang dia setor.

Sedangkan untuk patungan aset, investor hanya menyetor modal Rp 2 juta per lembar saham. Dalam patungan aset, investor tidak mendapat margin tahunan, tapi ia dijanjikan mendapat keuntungan dari selisih harga jual aset. Jika aset dijual, maka keuntungan 50% untuk investor, 25% untuk manajemen yang dikomandani Yusuf Mansur, dan yang 25% lagi disedekehkan untuk pesantren.

Rencananya, uang hasil patungan usaha dipakai untuk men-take over Hotel dan Apartemen Topas yang berlokasi di Tangerang. Letaknya tidak jauh dari Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Hotel akan dipakai sebagai tempat transit oleh jamaah haji dan umroh sebelum keberangkatan ke tanah suci.

Hotel dan Apartemen Topas awalnya adalah properti yang dibangun pada 2009 dengan status apartemen bersubsidi. Dalam perkembangannya, pemerintah mengubah kebijakannya, dimana Topas tidak termasuk kategori apartemen bersubsidi. Proyek yang baru 60% itu pun macet. Inilah yang akan diambil-alih oleh Yusuf Mansur.

Untuk tujuan tersebut, Yusuf Mansur mengumumkannya lewat situs patungan usaha pada November 2012. Hotel dan Apartemen Topas dihargai dengan Rp 150 milyar. Dibutuhkan 15.000 investor untuk mendapat uang sebesar itu. Rencananya, menurut Yusuf Mansur waktu itu, jika sudah ada 15 ribu investor, patungan usaha dihentikan. Sampai dengan buan Juni 2013, telah terkumpul Rp 24 miliyar, dari 1900 investor. Dana sebesar itu hanya cukup untuk membeli hotel, yang belakangan diberi nama Hotel Siti.

Dalam perkembangannya, Hotel Siti tidak seperti yang diharapkan. Tidak ada calon haji atau umroh yang menjadikan hotel ini sebagai tempat transit. Hotel Siti sepi tamu dan merana tak terawat. Sedangkan apartemennya tetap saja mangkrak. Dari sinilah persoalan bermunculan. Manajemen patungan usaha tidak bisa merealisir janji-janjinya.

Saham yang digembar-gemborkan pun tidak seperti yang dijanjikan. Para investor hanya dapat selembar sertifikat (bukan saham) patungan usaha. Hal ini sebagaimana dialami oleh seorang ibu dari Malang, SRP, yang tempo hari meminta bantuan saudara Darso Arief Bakuama untuk mengurus pencairan dananya.

Laporan keuangan yang diberikan secara periodic tidak pernah ada, apalagi bagi hasil yang telah dijanjikan. Sampai dengan Juli 2019 ini, ibu SRP tidak pernah mendapat laporan, menghubungi juga susah, situsnya juga sudah tidak bisa diakses. Begitu pula dengan Yusuf Mansur yang sering gonta-ganti nomor HP, juga tidak lagi bisa dihubungi.

Dari 1900 investor patungan usaha, sebanyak 400 orang yang kehilangan kontak. Salah satunya Ibu SRP dari Malang tersebut. Dari jumlah tersebut, tidak semua memperkarakan sampaikeranah hukum. Berbagai sebab dan pertimbangan yang membuat para investor tidak melakukan langkah-langkah hukum. Tetapi, puluhan bahkan ratusan investor menunggu dengan harap-harap cemas akan nasib investasi yang pernah ia tanam dipatungan usaha.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur