Breaking News
Jam'an Nurchotib Mansur alias Yusuf Mansur (Foto : Kontan)

Kebohongan Yusuf Mansur, Mengaku Bertemu Nabi (Bagian II –Habis)

Oleh: HM Joesoef

Jam’an Nurchotib Mansur alias Yusuf Mansur (Foto : Kontan)

 

Pengantar Redaksi:

Naskah bertitel “Kebohongan Yusuf Mansur, Mengaku Bertemu Nabi” yang dimuat di Thayyibah.com pada 12 Juli lalu, ternyata hanya bertahan dua hari. Setelah itu, tidak lagi bisa diakses. Perbuatan siapakah ini? Setelah melalui perbaikan yang memakan waktu 4 hari, situs Thayyibah.com Kamis (18/7) malam bisa kembali normal. Karena itu, dalam kesempatan kali ini, kami menurunkan lanjutan tulisan tersebut dengan judul “Kebohongan Yusuf Mansur, Mengaku Bertemu Nabi (Bagian II –Habis)”.

 

Dalam kaitan dengan mengaku Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, maka kita mesti masuk kepada definisi sahabat. Adalah Imam as-Suyuti yang pernah memberikan definisi lengkap tentang sahabat. Menurutnya, sahabat adalah, “Setiap orang yang bertemu dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam keadaan muslim dan meninggal juga dalam keadaan muslim.”

Ada pertanyaan, utusan Raja Kisra (waktu itu masih kafir) yang pernah bertemu beliau, lalu masuk Islam pada saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sudah wafat, apakah bisa disebut sahabat? Ternyata tidak. Hal ini juga berlaku sebaliknya. Seseorang bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam keadaan muslim kemudian ia meninggal dalam keadaan murtad, maka ia juga tidak bisa disebut sahabat.

Keberadaan para sahabat, khususnya para sahabat utama, punya hubungan yang tak terpisahkan dengan aktifitas Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Mereka adalah para pengikut yang paling setia, murid, dan penolong beliau. Para sahabat adalah mereka yang melanjutkan tugas-tugas pasca kenabian, dalam bentuk menyampaikan risalah, hadits-hadits, dan sunnah-sunnah yang mereka riwayatkan. Inilah keistimewaan peran sahabat. Dan ini hanya ada di jaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

Mereka, para Sahabat itu, adalah sebaik-sebaiknya manusia, sebagaimana disabdakan oleh beliau:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ

“Sebaik-baik manusia ialah pada generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.” (HR. Imam Bukhari dan Muslim)

Begitu istimewanya para sahabat itu sampai Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda yang dinarasikan oleh Abu Sa’id Al Khudri Radhiyallahu ‘ahnu, ”Janganlah kalian mencela sahabat-sahabatku. Seandainya salah seorang dari kalian berinfaq emas sebesar Gunung Uhud, tidak akan menyamai satu mud (infaq) salah seorang dari mereka dan tidak pula setengahnya. (HR. Imam Bukhari, Muslim, at-Timidzi, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Itu sebabnya, tidaklah berlebihan ketika Sahabat Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Barangsiapa hendak mengambil teladan maka teladanilah orang-orang yang telah meninggal. Mereka itu adalah para sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Mereka adalah orang-orang yang paling baik hatinya di kalangan umat ini. Ilmu mereka paling dalam serta paling tidak suka membebani diri. Mereka adalah kaum yang telah dipilih oleh Allah guna menemani Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan untuk menyampaikan ajaran agama-Nya. Oleh karena itu tirulah akhlak mereka dan tempuhlah jalan-jalan mereka. Sesungguhnya mereka berada di atas jalan yang lurus.”

Jika pengakuan Yusuf Mansur ini benar, bahwa dia bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sebelum tidur atau ketika di mobil, berarti Yusuf Mansur adalah sahabat. Karena definisi sahabat adalah orang yang bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kondisi beriman kepada beliau dan mati sebagai muslim.

Sayangnya, pengakuan seperti ini tidak pernah diutarakan oleh mereka yang hidup setelah jaman beliau, kecuali oleh para pendusta. Dan dusta atas nama Nabi itu akan mendapatkan tempat di neraka. Sebagaimana dinarasikan oleh Sahabat Al-Mughirah, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ كَذِبًا عَلَىَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ ، مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta pada selainku. Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Imam Bukhari dan Muslim).

About Redaksi Thayyibah

Redaktur