Breaking News

Setidaknya, Menjadi Jembatan

Oleh : Davy Byanca

Sahabat sufiku.

“BAGI KAMI kemiskinan bukan cerita, ia adalah lantai tanah yang dingin. Nasi yang dibagi lima, dan seragam sekolah yang diwariskan dari satu tubuh mungil ke tubuh mungil berikutnya”, ia membuka pembicaraannya, saat aku tawarkan dia untuk duduk bersama sarapan bubur ayam. Pagi itu, Darmin sedang mengamen membawakan tembang-tembang Dewa dan Padi. Aku tertarik sama vokal dan kesopanan anak ini. Kuajak dia untuk duduk sambil menikmati bubur ayam, tapi dia lebih memilih roti bakar dan kopi. Darmin menggunakan frasa ‘kami’ kerana ingin mewakili nasib dan inspirasi kaum marhaen yang orangtuanya hidup sebagai buruh dan tani. Bapaknya petani di Jember dan ibunya bekerja sebagai buruh di pabrik tembakau yang menghasilkan cerutu untuk diekspor. Dari kosa-kata yang dimilikinya, anak ini berpendidikan. “Apa aktivitas kamu selain ngamen?” tanyaku. “Kalau sore aku kuliah oom di Universitas Pamulang”, jawabnya.

AKU TENGGELAM dalam pembicaraan dengan Darmin. Anak ini mesti dipancing dulu agar kata-kata hikmah dapat mengalir dari mulutnya. Ada getaran saat dia bertutur-kata, ada energi yang keluar dari batin dan pengalaman hidupnya, seperti saat dia membawakan lagunya Dewa berjudul ‘Satu’. “Orang-orang di kampung saya selalu berbicara soal masa depan oom. Ada yang bercita-cita kelak kalau anaknya lulus kuliah, dia akan membeli kulkas dua pintu, oom”, katanya. “Loh apa hubungannya antara kulkas dan lulus kuliah”, tanyaku. “Saya gak tahu oom, mungkin mereka menganggap masa depan itu selalu adem, luas dan harus dua pintu”, katanya sambil tersenyum. Hampir satu jam kami bicara, dia pamit untuk melanjutkan perjalanan meraih masa depannya.

AKU SUKA dengan anak-anak muda seperti Darmin. Kerana nasib itu selalu datang tanpa kita undang, tapi makna adalah sesuatu yang harus kita buat sendiri walau dengan tangan yang gemetar sekali pun. Dan itu yang aku lihat pada diri Darmin. Aku bisa merasakannya, kerana aku pernah terpuruk dan merasa kehilangan, dan tahu rasanya tenggelam di antara kenangan dan penyesalan yang tak sempat dibicarakan. Dan semua yang ada telah aku rekam dan suatu hari akan aku tulis. Bukan untuk membenarkan atau mengungkit kembali, tapi untuk memberi bentuk pada luka. Dan saat seseorang membacanya, lalu berkata, “aku juga pernah merasakan seperti itu”, dari situ aku tahu; penderitaanku dan penderitaan Darmin tidaklah sia-sia. Setidaknya ia berubah menjadi jembatan. Herman Hesse, seorang penulis dan penyair asal Jerman-Swiss berkata, “Saya selalu percaya, dan saya masih percaya, bahwa apa pun nasib baik atau buruk yang kita alami, kita selalu bisa memberi makna dan mengubahnya menjadi sesuatu yang bernilai”.

OH YA ADA satu kalimat yang dia sampaikan sebelum pamit, “Aku tidak akan membiarkan lukaku menjadi beban oom, tapi menjadi pelajaran hidup”. Benar kamu Darmin. Mengangkat jiwa adalah sebuah bentuk kemenangan atas diri sendiri, bukan atas orang lain. Bukan berarti kita tidak boleh merasakan kesedihan atau kemarahan, tapi kita belajar untuk tidak larut di dalamnya. Sebagaimana kata Rene Descartes seorang filsuf dari Perancis, ‘setiap kali ada orang yang menyakitiku, aku berusaha mengangkat jiwaku setinggi-tingginya, sehingga rasa sakit itu tidak dapat menjangkaunya’. Begitulah kebebasan sejati, di mana kita tidak lagi terikat oleh luka, tapi melampauinya dengan cahaya dan ketenangan.

AKU BERANJAK dari warung, dengan kaki-Mu aku berjalan, dengan hati-Mu aku merasa. Sungguh tak ada yang selain diri-Mu yang selalu aku puja. Kudendangkan tembang ‘Satu’ perlahan sambil berjalan pulang.

Sekian ☕️

About Darso Arief

Lahir di Papela, Pulau Rote, NTT. Alumni Pesantren Attaqwa, Ujungharapan, Bekasi. Karir jurnalistiknya dimulai dari Pos Kota Group dan Majalah Amanah. Tinggal di Bekasi, Jawa Barat.