Oleh : Davy Byanca

Sahabat sufiku.
HUJAN TAK menunjukkan akan menurunkan intensitasnya. Suman baru saja menutup gerai martabaknya yang ke-11, gerai ini baru dibuka sebulan lalu. Malam ini tak tampak bulan. Akhirnya Suman memutuskan untuk pulang naik motor vespa kuno kesayangannya menerjang hujan. Walau terbilang sukses, Suman tetap saja senang mengendarai ‘si Gembul’ nama vespa antiknya. Dia ingin segera sampai di rumah, duduk sendirian dengan damai, makan snack dan memikirkan hubungannya dengan Ayu.
DI TERAS BELAKANG rumahnya, malam itu Ayu masih asyik bergelut dengan laptopnya, ia bertekad akan menyelesaikan naskah novel perdananya bulan depan. Siang tadi dia baru ketemu dengan Suman, terjadi perdebatan kecil soal persiapan pernikahan mereka. Percekcokan yang belum selesai. Ini yang paling gak aku suka katanya dalam hati. Masalah yang tak berujung pangkal. Dari tadi dia baru menulis satu setengah halaman, itu pun hanya paragraf tentang sebuah dialog dengan jiwa. “Apakah kaupernah menyaksikan megah senja ditenggelamkan bersama kehilangan? Apakah kaupernah melihat tegasnya malam dikubur bersama rasa sakit? Apakah kaupernah menemui konstelasi bintang menjadi kacau di langit sana? Apakah kau pernah menyaksikan rembulan dikhianati oleh senyuman seorang wanita?”
MAMA MENYAMBANGI Ayu di teras, “Belum tidur anak mama? Sok masuk atuh udah malam. Besok dilanjut lagi nulisnya”. “Ayu belum ngantuk ma”, jawab Ayu. “Lagi mikirin mas Suman ya. Jangan ngambekan dong nduk”, kata mama. “Tauk ah bete pokoknya”. Mama duduk di samping Ayu, menatap sambil memegang lengan tangan anak gadisnya. “Anak mama sayang. Jangan terlalu keras dengan lelakimu. Jangan paksa dia harus sesuai dengan standar aplikasi sebelah dong. Ayu gak pernah tahu ada tangis yang mungkin dia tahan, kerana dia dipaksa kuat melewati keadaan”. Tangis Ayu pecah, dia tak ingin ribut dengan Suman, dia hanya ingin Suman mengerti apa yang ia rasakan.
SAMBIL MEMINUM kopi hangat yang baru disedunya, Suman menuliskan text di hpnya, “Aku kangen kamu gadis kecilku. Maafkan mas tadi siang. Suatu hari nanti, kita akan mengenang kembali, tahun-tahun perjuangan kita akan terasa sebagai tahun-tahun terindah buat kita”. Ayu menjawab whattsap tersebut, “Ayu kangen sama mas. Maafin Ayu ya”. Ayu menarik nafas lega. Pada akhirnya, rasa syukur itu bukan soal pencapaian, tapi kesadaran, “aku masih di sini, aku masih terus berproses”, gumam Ayu.
DI UJUNG SANA, Suman menarik nafas panjang, ia mensyukuri apa yang telah Tuhan berikan kepadanya selama ini. Begitulah lelaki. Jangan terlalu keras dengan lelakimu. Bisa jadi di luar rumah, dia sudah bertanding segila-gilanya, namun dia tidak bercerita padamu. Sediakan telinga untuk mendengar juga. Kerana lelaki juga butuh di dengar. Malam semakin tenggelam, tak ada bulan kali ini. Suman di sini, dan Ayu di sana, sama-sama tersenyum menyambut kantuk.
Sekian
Semua tanggapan:
33Anda dan 32 lainnya
4 komentar
1 Kali dibagikan
Suka
Komentari
Bagikan
Facebo