Breaking News

Fenomena Sekar

Oleh : Davy Byanca

Sahabat sufiku.

ANAK PEREMPUAN itu mendekat pelan-pelan. Dia pikir mereka sakit. Tapi kenapa tak ada luka, tak ada darah, tak ada batuk. Hanya mata mereka merah seperti habis diterpa hujan. “Kenapa emak menangis?” tanya Sekar. Tapi jawaban tak datang, hanya isakkan yang terputus. Lalu ia pun ikut menangis. Bukan kerana lututnya tergores, bukan kerana mainannya rusak. Tapi kerana dunia di wajah kedua orangtuanya terlihat terlalu berat untuk dicerna. Sekar belum bisa bantu apa-apa, terlalu kecil untuk mengerti dunia, tak bisa beli beras, tak bisa bayar sekolah. Tapi malam itu, Sekar memeluk mereka dengan tangan kecilnya. Dia ingin mengademkan hati emak dan bapak. Walau dia tahu, dunia ini terlalu besar untuk mereka taklukkan bertiga.

SEKAR DUDUK di tepi danau, memandang air yang tenang dan butek. Angin sore menyapu wajahnya, namun hatinya tetap gelisah. Seorang nenek yang lewat berhenti, tersenyum lembut, “Kenapa wajahmu murung nduk?” tanyanya. Sekar menghela nafas, “Saya merasa hidup saya sudah hancur mbah. Terlalu banyak kesalahan”. Nenek itu tersenyum bijak, “Nduk, seburuk apa pun masa lalumu, masa depanmu belum ternodai. Kamu masih punya kesempatan untuk berubah, hidup tanpa masalah itu namanya bukan hidup”. Kata-kata itu menyentuh hati Sekar. Ia menatap danau, melihat pantulan dirinya. Bukan bayangan gelap lagi, tapi seseorang yang masih punya harapan. Masih teringat kejadian 10 tahun lalu saat dia bersama emak dan bapak saling berpelukan dalam tangis.

REMAJA MUDA itu sekarang tumbuh menjadi perempuan muda yang cantik. Dia berhasil mengubah penampilannya dalam waktu singkat, sejak tiga tahun lalu diajak teman sekampungnya bekerja sebagai caddy di sebuah golf club. Dalam waktu singkat namanya dikenal, dan menjadi primadona di club itu. Tekadnya untuk mengubah kemiskinan yang mendera keluarga, membawanya menjadi peliharaan Boss-boss di lapangan golf. Sekar berhasil mencicil mobil dan merenovasi rumah orangtuanya di kampung. Di kampung, namanya harum kerana sukses bekerja di Jakarta, walau tak tamat di sekolah menengah kejuruan. Dia tahu, emak tak pernah meminta dibalas, cukup tahu dirinya bahagia di rantau. Bapak tak banyak bicara dari dulu, tapi lelahnya adalah bentuk paling jujur dari cinta. Mereka tak pernah meminta apa pun dari Sekar, hanya selalu ingin tahu apakah dia masih ingat untuk pulang?

DI USIANYA yang semuda ini, Sekar merasa hidupnya sudah lebih dari cukup, tapi hatinya semakin kosong. Di usia semuda ini, dia sudah bepergian ke Singapura, Jepang dan Korea, sementara teman-teman kecilnya di kampung, ke Jakarta pun belum pernah. Tapi sore ini, sejak bertemu si mbah, ia merasa ada bagian dirinya yang hilang. Hampir tidak pernah menjalankan shalat 5 waktu, tak pernah lagi menyentuh al-Quran, dan sudah berapa tahun terakhir tidak pernah puasa Ramadhan. Dia buka instagram, tetiba muncul quotes, ‘kita semua sedang menjalani permainan yang sama, hanya di level yang berbeda. Menghadapi neraka yang sama, hanya dengan iblis yang berbeda’.

BERGEGAS DIA pulang, setibanya di apartemen, Sekar mengambil wudhu, mencari mukena pemberian emak, menggelar sajadah dan menunaikan shalat. Entah shalat apa, yang pasti airmatanya tumpah ketika sujud pertama dilakukannya. Yaa Rabb … ampuni Sekar.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur