Breaking News

Sibuk dengan Lukisannya

Oleh : Davy Byanca

Sahabat sufiku.

DI SEKITAR KITA, ada beberapa manusia yang melukis wajah kita dari cerita-cerita manusia lain yang samar, lalu mereka mengolok-olok lukisannya sendiri seolah-olah itu adalah diri kita. Mereka gelisah ketika kita mulai punya batas, mereka cemas saat kita tak lagi bisa dimanipulasi, dan mereka marah bukan kerana kita berubah, tapi kerana mereka kehilangan kendali atas versi diri kita yang dulu sangat mudah diatur.

MENURUTKU, ada orang yang harus ditoleransi meski sering bersikap buruk, ada yang harus diberi batasan berinteraksi atas sikap buruknya. Seringkali kita berada dalam kondisi yang tidak baik tapi menganggap itu hal yang lumrah. Seperti; berada di lingkungan yang tidak membangun, itu dianggap lumrah. Berada dalam hubungan yang tidak sehat, itu pun dianggap biasa. Malah ada yang terbiasa diperlakukan dengan buruk, terbiasa tidak dianggap dan dimanfaatkan. Terbiasa dikucilkan, dimanipulasi, disakiti dan difitnah. Padahal kendati kita sudah ‘terbiasa’, bukan berarti iti baik untuk kita. Sama seperti terbiasa hirup bau sampah, bau taik kucing, bukan berarti bau sampah dan taik kucing itu baik untuk kita. Kerana kita berhak untuk menghirup udara yang segar, dan berhak memiliki kondisi hidup yang lebih baik.

KADANG KITA terlalu lama terjebak dalam kata-kata yang tidak penting, tentang pendapat seseorang yang tak tahu apa-apa tentang kita. Tapi mereka merasa piawai melukis wajah kita. Kita terlalu lama memikirkan apa yang orang lain pikirkan tentang diri kita. Padahal tak semua perkataannya tak pantas untuk didengarkan. Kukatakan padamu, kapasitas hati kita terbatas, seperti lahan parkir yang penuh. Kita harus mampu memilih; mana yang layak kita terima, dan mana yang harus dilepaskan. Biarkan mereka sibuk dengan lukisannya sendiri dan kita menyibukkan diri dengan membenahi hati.

HIDUP INI adalah pinjaman Sob, tak usah bertepuk dada dengan apa yang kita punya. Jika ada orang yang merasa memiliki sesuatu, itu adalah awal dari penderitaan; timbul rasa sombong, takut kehilangan, iri, cemas dan tamak. Cak Nun menyebutnya ‘musibah terbesar manusia’. Dengan menyadari bahwa kita hanyalah ‘penjaga sementara’ atas segala sesuatu, kita diajak untuk lebih rendah hati, bersyukur dan tidak menggantungkan pada kepemilikan material.

Sekian.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur