Breaking News

Bincang-bincang di Mataram

Oleh : Davy Byanca

Sahabat sufiku.

SIANG INI aku mendarat di bandara Praya Lombok International di Lombok Tengah. Rencana mau langsung ke Mataram, di Bandara aku dijemput sama anak muda energik asli Lombok, kenalan lamaku, guru honorer di sekolah agama. Sebut saja namanya, Dedi. Mengajar adalah hobbynya, disamping sebagai guru honorer, kesehariannya Dedi mengasuh pesantren kecil peninggalan almarhum ayahnya. Kami berpelukan hangat, maklum terakhir jumpa 4 tahun lalu. Dulu, saban ke Mataram yang kami bahas adalah kebobrokan rezim Mulyono, sekarang situasi sudah berubah pikirku.

SEPANJANG perjalanan menuju Mataram, kami bincang satu sama lain. “Gimana kondisi antum terkini?” tanyaku. “Ahh sama aja Bang. Gaji guru tak naik-naik, apalagi kami yang cuma tenaga honorer”, jawabnya. “Ahh kau jangan karang cerita pulak. Kan pak Presiden sudah berjanji akan menaikkan gaji guru”, kataku. “Abang ini macam tak faham aja. Kan janji itu wajib hukumnya, soal pelaksanaan mubah hukumnya bang”, jawab dia. “Ya begitulah Bang. Kalau bapak-bapak di Jakarta tu faham, pendidikan itu bukan hanya soal menjawab soal ujian. Tapi soal membentuk akal agar rakyat tak mudah ditipu. Kami ini apalah Bang. Tapi abang kenal aku kan, kalau aku sebagai guru berhenti bicara, kalau pendidikan diam, maka siapa lagi yang akan mengoreksi arah kekuasaan?” Wah mulai panas ni anak pikirku. Kemakan juga umpanku.

DEDI adalah seorang aktivis pendidikan lokal. Dia alumni Fakultas Hukum Universitas Gajahmada, ijazah dan skripsinya asli, dia dedikasikan hidupnya yang masih muda untuk menjadi seorang pendidik. Dia tak ingin melihat anak-anak di kampungnya terkebelakang dalam hal pendidikan. Padahal saat dia lulus, aku pernah mengajaknya untuk bergabung di kantor hukumku di Jakarta, tapi dia harus pulang kerana ayahnya waktu itu sakit keras. Sejak dulu dia dan komunitasnya di Lombok kritis, itu bukan kerana mereka membenci negara, atau anti Pemerintah. Mereka justru sangat dalam mencintai negeri ini. Menurut Dedi, negara ini tak butuh lebih banyak orang pintar, tapi butuh lebih banyak orang yang berani berpikir dan yang berkata benar. Aku ingat saat menjelang Pilpres dia mengirimkan pesan whattsap kepadaku, “Pendidikan harus masuk ruang politik Bang. Bukan untuk jadi partisan, tapi untuk memperluas kesadaran, mengajarkan etika bernegara, dan memperjuangkan keadilan berbasis nalar dan logika yang benar. Kami tidak ingin membuat gaduh, kerana cinta sejati tak pernah diam!”.

DI BALIK WAJAH santrinya yang santun dan ramah, tersimpan semangat yang menggelora ketika bicara pendidikan. Dia pernah ditahan dua hari di Polres Mataram kerana melakukan unjuk rasa, tapi sejak saat itu dia kenal hampir semua polisi di kantor tersebut. Mungkin aparat penegak hukum di sana tidak mengkategorikan dia sebagai ‘mahluk yang berbahaya’. Tak berapa lama kami tiba di resto, berhenti sejenak untuk makan siang dan shalat dzuhur.

USAI MAKAN siang, aku berkata kepada Dedi. “Ded aku tertarik dengan pandanganmu soal pendidikan harus masuk ruang politik. Menurutku, pengetahuan itu bukanlah musuh kekuasaan. Kerana Pemerintah yang takut memberi penjelasan, adalah penguasa yang faham bahwa penjelasan itu tidak akan bisa membela mereka. Mereka bukanlah kumpulan orang bodoh. Tapi menurutku itu bagian dari strategi. Kebodohan harus ditumbuh-kembangkan. Literasi dikebiri, narasi dimonopoli dan setiap aksi mesti dikebiri.” “Apa tujuan mereka sampai segitunya Bang?” tanya Dedi. “Semua demi satu tujuan Ded. Menjaga rakyat tetap bergantung pada penguasa. Artinya, keinginan Ded untuk memasukkan pendidikan ke dalam ruang politik terpenuhi sudah”, kataku. “Alammaaaak, iya juga ya Bang”.

Sekian.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur