Oleh : Davy Byanca

Sahabat sufiku.
PEREMPUAN itu sedang menikmati sepinya suasana pegunungan. Sudah dua hari dia menginap di vila mungil di kawasan Sentalun, Lombok. Kemarin dia menikmatinya indahnya gunung, sekarang dia menikmati indahnya gunung, dan berharap sampai senja nanti masih menikmatinya. Dia sedang menghabiskan segmen terakhir dari novelnya yang sudah 6 bulan tak selesai-selesai. Berharap di kesunyian ini, ia dapat merampungkannya. Jujur ia ragu untuk memulai menulis segmen ini, kerana novelnya kali ini rancu antara kisah fiktif dengan pengalaman pribadinya. Tetiba ia teringat ketika pertemuan pertamanya dengan mas Suman, yang kemudian menjadi inspirasi baginya untuk membuat novel. “Kenapa mas seringkali menatap mata Ayu saat kita berbicara?” tanya Ayu, perempuan itu. “Aku tidak menatapnya. Aku sedang membacanya”, jawab mas Suman. “Apa yang mas temukan setelah membacanya”, tanya Ayu lagi. “Kesedihan yang bertumpuk. Kelelahan yang bersembunyi di mata. Rasa sesak yang tersimpan di hati. Aku menemukan itu semua. Bagaimana jika Ayu berikan saja itu kepadaku?” jawab lelaki itu. “Caranya?” tanyanya. “Menikah. Aku ingin menikahimu,” jawab Suman.
JARI JEMARINYA mulai mengetuk tuts laptop kesayangannya. Ada bagian yang paling kubenci dari dirimu, bagian itu bernama kehilangan, tulisnya. Lalu bagian-bagian lain yang menjelma sebagai aku yang ingin terus mencoba meski kemungkinan paling kuatnya adalah kehilangan. Aku ingin sekali memintamu untuk tinggal sedikit lebih lama, bertukar denganku kisah tentang hari yang melelahkan, malam yang panjang dan sunyi, tentang kesedihan yang berjatuhan seperti hujan, tentang apa pun; tak masalah walau itu bukan tentang kita. Tapi senyatanya aku telah jatuh cinta pada pria yang salah. Seperti garis yang ditarik mundur ke awal. Kau memutuskan hilang. Lalu aku menjadi asing dengan diriku; kerana sebagian aku, ikut bersama dirimu.
INILAH YANG ia takutkan, part penutup yang tak pernah selesai. Berharap di keheningan Sentalun semua bisa diatasi. Toh tak ada yang tahu kalau ini adalah cerita tentang aku dan dia. Ayu berhenti sejenak. “Tapi ternyata tak bisa kulakukan. Aku masihlah seorang penyair; di sebuah ruangan, terkunci, isinya adalah tulisan-tulisan yang bertumpuk. Aku masih di tempat yang sama, tidak kemana-mana. Kaubisa menemukannya saat rasa sakit, atau kebencian yang lain kembali ke dadamu”. Ayu menghela nafas sejenak, “Begitulah adanya. Mas Suman tidak akan pernah pulang kepadaku. Maaf atas banyak kekuranganku. Aku berterima kasih atas hal-hal yang pernah kita bicarakan sebagai jalan ‘pulang’ walau kutahu saat itu hanya basa-basi darimu agar percakapan kita terasa seperti ‘aku betul-betul sedang berada di sebuah rumah kita”.
PEREMPUAN itu melanjutkan tulisannya. Ia tetap berusaha untuk tidak terkontaminasi dengan pengalaman pribadinya. “Seperti katamu, kautak bisa memastikan apa pun di masa depan. Maka izinkan aku tuliskan sesuatu kepadamu; Di masa depan kau pasti menikah, lalu keadaan terburuknya kau tidak menikah denganku. Di masa depan itu, aku harus mengikhlaskanmu, mau atau tidak mau. Harapanku, kau mencintaiku sepenuh hati orang yang menikah denganmu. Kerana jika tidak, yang aku takutkan aku masih diam-diam berdoa, untuk menggantikannya”. Airmatanya meleleh, Ayu akhirnya dapat membuat ending tulisannya tanpa ragu. Mengapa ia menangis? Kerana Ayu tak ingin menutup novelnya dengan cerita pribadinya; ia biarkan tokoh Suman dalam novel pergi dan hilang dengan penuh tanda tanya. Dalam dunia nyata, Ayu kehilangan sang kekasih, calon suaminya, kerana tidur di haribaan Sang Khalik. “Sungguh kerinduanmu kepada Sang Kekasih telah terpenuhi mas. I miss you much”.
SIANG INI, Ayu mengemas barang-barangnya, ia bersiap menuju Bandara. Diambilnya telepon genggam, ia bicara dengan mamanya. “Ma, hari ini Ayu pulang ya. Seperti kata Mama, sepanjang perjalanan ini, Ayu menemukan daun yang gugur berserakan di atas aspal, seperti gugur musim yang berhamburan di bawah lalu-lalang angin di siang hari. Seperti nasihat mama, Ayu tak menyediakan rasa sesal atau benci. Biarkan mas Suman tenang di alam sana, kado terindah buat mas sudah Ayu tuntaskan kemarin. Tapi jujurly, Ayu kadang ingin menjelma seperti bintang jatuh; tumpas, hilang dan lenyap begitu saja. Ok deh Ma. I miss you very much”.
Sekian.