Breaking News

Kiat Kafe E-Pos

Oleh : Davy Byanca

Sahabat sufiku.

SAHABATKU sedang di persimpangan jalan. Usaha resto dan kafe yang dia rintis selama 3 tahun masih terasa jalan di tempat, padahal lokasinya strategis. Sudah 4 kali dia mengganti konsep, menu dan style restonya; mulai dari kedai kopi biasa, jualan makanan Timur Tengah, lalu roti dan pasta, sekarang di modifikasi dengan menambah kuliner gerobak menjual ayam goreng kriuk. “Kadang dipikir-pikir awak gak punya bakat dagang Bang”, katanya suatu hari. “Kenapa rupanya”, kataku. “Sudah habis hampir 2 Milyar duit awak cemplungin di bisnis kuliner ini. Tapi masih begini-begini aja Bang. Capek awak”, katanya sedikit mengeluh. “Kutengok kedai yang di seberang sana Bang. Baru setahun dia buka, udah ramai. Kalau kuhitung omzet dia bisa 150 juta perbulan, untuk kota kek gini, dan mantap tuh”, mulai meracau dia kayaknya.

“BEGINI BRO. Membandingkan dirimu atau bisnismu dengan orang lain adalah cara tercepat untuk membunuh dirimu sendiri”, kataku. “Setiap orang berjalan di lintasan hidup yang berbeda. Ada yang berlari, ada yang berjalan, ada yang berhenti sejenak untuk memperbaiki tali sepatunya. Membandingkan hanya membuatmu lupa, kaupunya kekuatan unik yang orang lain tidak punya. Kita tidak pernah diciptakan untuk bersaing ‘seperti mereka’, tapi berkembang menjadi ‘diri sendiri’. Faham kau?” lanjutku.

AKU JADI ingat kata-kata Muhammad Natsir. Beliau bilang, “Hidup bukan soal menunggu keajaiban, tapi tentang keberanian untuk berjuang. Buah kelapa tidak jatuh begitu saja, kita harus memanjatnya, menghadapi resiko, dan mengeluarkan tenaga. Hidup ini milik mereka yang mau berusaha, bukan yang sekadar menunggu”. Suatu hari, aku putuskan untuk berkunjung ke kafenya. Aku minta kepadanya untuk mengumpulkan seluruh karyawannya, cuma mau cerita sama mereka. Ceritanya begini; ‘Ada seorang anak manusia yang mengirimkan doa jam dua pagi, ternyata hanya centang satu. Dia pikir Tuhan sedang tidur, ternyata dia yang tak pernah on-line di jam-Nya. Penasaran, pagi harinya dibuka lagi, eh masih centang satu juga. Dia pikir, mungkin dirinya belum cukup sunyi untuk didengar. Malam berikutnya, dia mengubah strategi, dia kirim suara: tangis pelan dan diam yang panjang. Tak ada balasan, tapi paginya matahari datang menyeka airmatanya tanpa kata. Tuhan menjawab dengan hal-hal yang tak diketik. Sejak saat itu, dia tak lagi menunggu balasan. Dia terus mengetik, kadang tanpa kata, kadang hanya titik, koma atau spasi yang panjang. Akhirnya, di suatu senyap yang tak bisa ditentukan jamnya, dia merasa; Tuhan sedang membaca’.

MULAI SAAT ini juga kita ubah mindset kita dalam berniaga kataku. Setiap orang yang bekerja di kedai ini, wajib untuk mengingat Allah saat sedang menjalankan perannya masing-masing; barista berdzikir saat menyiapkan kopi, waiter bershalawat saat menyajikan makanan dan minuman, petugas pencuci piring meramaikan bunyi-bunyian gelas, piring dan perlengkapan lainnya dengan bacaan surah-surah pendek, dan Kasir menebar senyum dengan tak lupa mengucapkan syukur, ‘alhamdulillah’. Mengapa? Kerana bumi ini adalah hamparan sajadah panjang bagi kita, dan bekerja adalah bagian dari ibadah. “Yuk sama-sama kita ubah etos kerja kita menjadi epos (energi positif) kerja. Hasilnya kita serahkan sama Allah”.

TERUS CEMMANA? Tinggal menunggu bagaimana kesaksian kawanku ini. Tapi sudah 6 bulan dia tak ke Jakarta, bisa jadi lagi sibuk dia sekarang menghitung pundi-pundi rekeningnya. Aku faham, soalnya kalau kawan ni lagi gak sibuk, sikit-sikit terbang dia ke Jakarta, entah apa-apa anak ni, padahal dia punya asset yang bisa dia kembangkan di Bumi Lancang Kuning sana tu.

Sekian.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur