Breaking News

Diajari Untuk Dilupakan

Oleh : Davy Byanca

Sahabat sufiku.

DALAM SEBUAH wawancara imajiner, seorang pemuda bertanya kepada Karl Marx, “Kalau kamu hidup di Indonesia hari ini, apa yang akan Anda lakukan pertama kali?” Tuan Marx menjawab, “Aku akan berjalan ke pasar. Duduk di angkot. Masuk ke pabrik. Lalu membaca harga sebuah buku di toko kecil yang sepi”. “Kenapa toko buku?” “Kerana di sanalah aku bisa tahu. Apakah negara ini ingin rakyatnya berpikir atau hanya ingin mereka bekerja, membayar lalu diam”. Pemuda itu bertanya lagi, “Tapi bukankah sekarang semua orang bisa belajar dari media sosial?” Tuan Marx menjawab. “Belajar? Atau disuapi narasi yang sudah disesuaikan dengan keinginan pasar? (Ia menyandarkan tubuhnya). Pengetahuan sejati tak hanya tentang informasi, tapi kesadaran. Dam kapitalisme hari ini sangat pandai menyamar sebagai kebebasan”.

AKU TAK ingin melanjutkan membaca wawancara tersebut. Kerana baru paragraf pertama saja, aku sudah merasakan tuan Marx sedang menasehati kita sebagai anak bangsa. Agar kita mampu mengendap dalam kesadaran saat menjalani kehidupan di negeri yang sedang tidak baik-baik saja ini. Ia sedang tidak berteori, tapi menyajikan hidup seperti air yang jatuh dari bambu ke bambu; tenang, jernih dan tidak pernah memaksa untuk difahami. Inilah yang disebut dengan ‘Kecemasan Modern’, suatu gejala dari manusia yang kehilangan rasa otentik atas keberadaannya. Di mana kita tidak lagi hidup berdasarkan pilihan, tapi reaksi. Rollo May secara tepat mengidentikkan berkata berkata, “Saya hanyalah sekumpulan cermin, yang memantulkan apa yang diharapkan orang lain dari saya”.

MANUSIA MODERN terpapar pada ‘kebisingan’ yang hampir tak henti-hentinya, yang sebagian besar tidak mencerahkan pikiran, tapi malah membuatnya tumpul. Kerana setiap hari kita dijejali; notifikasi, iklan, berita, gosip, video, film porno, suara, suara dan suara. Tapi ironisnya, malah makin sulit mendengar diri sendiri. Manusia modern tidak bisa tahu siapa dirinya, kerana ia tidak tahu bagian mana dari dirinya yang bukan dirinya. Mana yang aku, dan mana yang tempelan.

KERANA PENASARAN, aku melanjutkan membaca wawancara tersebut. Si pemuda bertanya, “Tapi Marx, ngomong-ngomong soal buku. Pemimpin kami katanya gak suka baca …ha ha”. Sambil tersenyum tipis tuan Marx berkata, “Maka jangan heran jika rakyatnya diajari untuk melupakan, bukan memahami. Kerana pemimpin yang tidak membaca, biasanya lebih suka dipuja daripada dipikirkan”. Pemuda itu melanjutkan, “Tapi dia muda, punya kuasa, dan katanya mewakili anak muda dan masa depan loh”. Tuan Marx berkata lirih, hampir-hampir tak terdengar, “Masa depan siapa Bung? Yang tak suka membaca, akan lebih sibuk mengatur pencitraan daripada menyusun pemahaman. Ia akan memilih popularitas ketimbang kejelasan. Dan rakyat, yang lapar penjelasan, akhirnya hanya diberi hiburan”.

ANAKKU yang ikut membaca wawancara tersebut bertanya kepadaku, “Jadi apa yang harus kami lakukan sebagai generasi muda Yah?” Sambil tersenyum pahit kukatakan, “Bacalah, meskipun pelan. Bicaralah, meskipun takut. Tapi yang paling penting, jangan percaya bahwa kamu sendirian dalam penderitaanmu. Kerana yang membuat sistem ini bertahan bukan kerana kuat, tapi kerana kita terlalu sibuk bertahan seorang diri”.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur