Oleh : Davy Byanca

Sahabat sufiku.
DENGARLAH KAWAN, hujan itu adalah puisi yang dilantunkan langit dengan kidung hening, gugur satu persatu dalam lirih. Menyulam tanah dengan bening lalu angin mengantarkan rindu. Di antara gerimis yang jatuh syahdu, pada dedaunan yang menari pelan, seorang pemuda tertunduk lesu memegang pusara di pemakaman yang sepi.
TANGANNYA GEMETAR, dadanya sesak dan pikirannya melayang. Pesan-pesan Ibu yang dulu ia acuhkan, kini tak lagi bisa ia balas. Ibunya menunggu pulang, duduk di kursi yang juga makin menua. Tapi ia lebih memilih jalan-jalan dengannya, kerana katanya ‘Aku butuh quality time’. Ibunya sakit, tubuhnya melemah, tapi ia sibuk membelikan hadiah untuk kekasihnya. Sebab katanya ‘Kalau gak ada surprise, dia bisa kecewa’.
IBUNYA BUTUH obat, butuh perhatian, tapi ia lebih khawatir dengan sikap pacarnya yang mulai dingin, lebih takut pesan tak berbalas, dan lebih cemas pada chat yang dibaca tanpa dibalas. Ibunya menyiapkan makanan, menu yang dulu jadi favoritnya. Tapi ia lebih memilih pesan makanan online, kerana katanya ‘Ia lebih suka makanan kekinian’.
CINTA ITU BUTA katanya, maka ia bertahan meski diinjak, tersenyum mesti dihina, kerana katanya cinta itu tak butuh logika. Manusia berlari mengejar cahaya cinta, tak sadar itu adalah api yang membakar jiwa. Mereka haus akan belaian semu, hingga lupa mereka pun debu. Itulah adegan yang tengah kita saksikan, yang diperankan dengan apik oleh pemuda itu.
LELAKI itu menatap senja, suasana di pemakaman makin sunyi, suara jangkrik mulai terdengar di sana-sini memimpin orkestra binatang malam lainnya. Barangkali kehilangan bukan tentang kehampaan, melainkan tentang bagaimana ia belajar menerima bahwa beberapa rasa tak lagi bisa ia nikmati bersama sang Ibu.
AKU MENATAP kursi yang kosong di seberang meja. Aku tak kuat untuk melihat adegan selanjutnya, kututup laptopku, seraya meneguk kopi hitam di sampingnya. Aku teringat bagaimana dulu aku bersama Emak menikmati keceriaan bersama. Tapi kenyataannya, aku selalu pulang dalam bentuk tidur yang gelisah, sementara dari balik mata kantukku, aku mengintip Emak sedang menatapku dengan penuh cinta. Di balik kerutan wajahnya, aku tahu Emak sedang berdoa.
“Ibu, kepergianmu adalah luka yang tak ada kunjung obatnya. Meski demikian aku tetap berjalan walau kadang kehilangan arah. Ibu, badai kehidupan selalu menerpaku tiada henti, dan aku terus berjalan dengan tertatih-tatih. Kerana seperti katamu “Hidup adalah perjalanan maka arungilah samuderanya dengan kapal yang ada, dengan nakhoda maupun tidak”.
Salam buat emak-emak tangguh di luar sana. Allah loves you all

Sekian.