Oleh : Davy Byanca

Sahabat sufiku.
DI SUDUT SIBUKNYA kota, ada seorang perempuan yang menata senyumnya di cermin retak. Ia menatap wajahnya yang semakin menua, mulai tampak keriput tipis di ujung kelopak matanya. Dia sedang berdialog dengan jiwanya ‘Siapakah yang lebih suci? Aku yang menjual tubuhku kerana lapar, atau dia yang menjual ayat untuk selimut moral’. Dosa itu sudah larut oleh waktu. Dia tengah menghitung lembaran rupiah lusuh di tangannya, sementara lelaki yang memberikan upah beberapa jam lalu saat ini tengah asyik menghitung donasi di kotak amal. Siang ini ia akan kembali naik mimbar, mengajarkan iman dengan sisa nafas yang berbau kemarin malam. Perempuan itu membuka youtube, di hadapan jemaatnya, lelaki itu mengajarkan pentingnya keseimbangan hidup, tapi kenapa langkahku goyah setelah mendengarkan khotbahnya.
DI KAMAR PETAK rumah kontrakan, seorang siswi sma menerawang mimpi. Ayahnya kuli bangunan yang kerja serabutan, dan ibunya bekerja sebagai asisten rumah tangga, memegang tiga rumah di komplek seberang. Pagi tadi ia mendapatkan pelajaran IPA dari pak guru muda yang ganteng. Si Guru mengajarkan soal anatomi tubuh manusia, soal gaya dan tekanan dan sistem pernafasan. Tapi anehnya, usai pelajaran sekolah, hanya tubuhnya saja yang harus dipelajari, hanya badannya sendiri yang jadi ujicoba soal gaya dan tekanan, lalu kenapa justru nafasnya yang tersengal. Di depan kelas, si Guru dihormati, di ruang sempit ia menjadi predator tak bernama. Di buku catatan, ia memberi nilai tinggi, tapi di hati siswi muda ini, ia meninggalkan bekas yang tak bisa dihapus.
KISAH DI ATAS, adalah realitas yang terjadi bertahun-tahun, baik di kota besar maupun di kota kecil, baik di sekolah umum maupun di sekolah berbasis agama. Potret dari pemuka agama dan pelacur yang memiliki dua wajah dalam satu cermin; berbagi dosa dengan senyuman, berpura-pura suci di balik bayaran. Mereka teman sejati di dalam kebohongan, satu menuntun dengan doa, yang lain dengan harga. Juga potret simbiosis mutualisme antara guru dan murid. Di mana keduanya saling mengajarkan hal yang berharga, tapi lebih suka menikmati tubuh daripada akal. Tangannya lembut, tutur katanya bijak, tapi dingin menusuk gelap. Yang satu murid, satunya lagi guru, tapi lebih sering tubuh si murid menjadi kitabnya.
RAGA KEDUA perempuan itu seperti buku usang. Halaman-halamannya tercabik angin. Di setiap serpihan kisahnya, mereka belajar bagaimana luka bisa tumbuh menjadi tegar dan dingin. Keduanya tenggelam dalam doa, “Tuhan, aku tak tahu ini arahnya kemana? Langkahku seperti dedaunan terseret angin yang tak punya tujuan”. Dunia ini sungguh keras. Pada akhirnya semua akan kembali ke dunia nyata. Di mana diksi tak dipakai lagi. Di mana kenyataan harus diperjuangkan, bukan didramatisir menjadi puisi penuh keperihan tak berkesudahan.
Sekian.