Breaking News
Baru gagasan. (Foto : JTO)

Magz on Demand

Oleh: Joko Intarto

Baru gagasan. (Foto : JTO)

Salah satu fenomena paling mencolok dalam era digital adalah tren content on demand. Setiap orang akan cenderung hanya mengakses konten-konten yang disukainya saja.

Pada era media analog, keinginan itu sulit terpenuhi. Jumlah kanal media sangat terbatas. Perusahaan media tidak ada yang mau melayani konsumen yang spesifik karena jumlahnya terlalu kecil.

Rebutan remote control akhirnya menjadi hal biasa di dalam rumah tangga yang hanya memiliki satu pesawat televisi. Ibunya ingin terus menyaksikan siaran sinetron dari stasiun TV A. Ayahnya ingin menonton siaran langsung pertandingan tinju dari stasiun TV B. Sementara sang anak ingin mengikuti acara Ipin dan Upin dari stasiun TV C.

Hanya satu yang menang. Dua lainnya harus mengalah. Begitu pula media cetak. Dulu, koran dianggap medianya bapak-bapak. Iklan zaman dulu selalu menggambarkan seorang bapak tengah membaca koran sambil minum kopi, sementara sang ibu memasak.

Ketika saya menjadi wartawan ‘’Jawa Pos’’ pada 1991, redaksi membuat survey untuk mengetahui profil pembacanya, rubrik apa yang disukai dan rubrik baru apa yang diusulkan.

Saya lupa hasil persisnya. Tetapi jumlah pembaca dari kelompok ibu-ibu dan remaja ternyata cukup besar. Dari situlah ‘’Jawa Pos’’ membuat rubrik-rubrik baru yang tidak lazim pada zamannya.

Dari 36 halaman, redaksi membagi menjadi tiga segmen: Jawa Pos 16 halaman (untuk bapak-bapak), Metropolis 8 halaman (untuk ibu-ibu), Olah Raga 8 halaman (untuk remaja). Belakangan rubriknya berkembang lagi dengan tambahan empat halaman Deteksi (untuk remaja).

Sejak munculnya media online bernama blog sekitar tahun 2003, tren media on demand semakin kuat saja. Peserta pelatihan membuat blog menggunakan platform ‘’Wordpress’’ dan media sosial ‘’Friendster’’ yang saya jalankan di berbagai kampus selalu melebihi perkiraan.

Hanya melalui ‘’Wordpress’’ dan ‘’Friendster’’ itulah masyarakat bisa menciptakan media on demand dan content on demand secara gratis. ‘’Facebook’’ belum lahir. ‘’Youtube’’ apalagi.

Kurang lebih sepuluh tahun lalu, platform ‘’Friendster’’ disuntik mati. Tidak ada penjelasan, mengapa manajemen ‘’Friendster’’ tidak melanjutkan pengembangan aplikasi media sosial pertama di dunia itu. Namun banyak yang menyebut, kelahiran ‘’Facebook’’ yang menjadi penyebab tumbangnya ‘’Friendster’’.

Harus diakui, ‘’Facebook’’ memang jauh lebih menarik ketimbang ‘’Friendster’’. Saya pun sampai lupa mengurus akun ‘’Friendster’’ sejak memiliki akun di ‘’Facebook’’. Entah berapa ratus artikel saya yang hilang seiring dengan penutupan permanen server ‘’Friendster’’ empat tahun setelah platformnya dimatikan.

Berkat platform ‘’Wordpress’’ dan belakangan muncul Blogspot, ‘’Facebook’’ dan belakang lahir ‘’Instagram’’, semua orang di seluruh dunia mengalami gejala yang sama: Membuat kanal media sendiri dengan konten sendiri, menjadi media on demand dan content on demand untuk diakses siapa saja. Gratis.

Beberapa pihak kemudian membuat platform untuk mengumpulkan konten-konten itu. Salah satunya: ‘’Chicken Soup’’. Para penggemar fiksi seperti cerita pendek hingga novel akhirnya rajin mengakses di situs tersebut. Di level domestik, ada ‘’Cook Pad’’. Situs ini menjadi favorit ibu-ibu penggemar resep masakan.

Belajar dari ‘’Chicken Soup’’ dan ‘’Cook Pad’’, rasanya tidak berlebihan kalau saya akan mencoba membuat media on demand baru berformat e-Pub. Format ini lebih popular dengan sebutan penerbitan elektronik seperti e-paper, e-book, e-newspaper dan e-magazine (e-magz).

Dari beberapa jenis penerbitan elektronik tersebut, saya tertarik dengan e-Magz. Sebab, majalah memiliki isi yang beragam. Bisa artikel liputan peristiwa, artikel hasil wawancara, artikel konsultasi dan artikel kiriman pembaca.

Nah, pengakomodasian artikel kiriman pembaca ini akan menjadi daya tarik tersendiri. Dengan cara ini, e-Magz itu akan menjadi media kolaborasi pembaca sekaligus content creator dengan pembaca murni yang menggemari tema yang sama.

Tentu saja temanya tidak perlu yang berat-berat. Supaya semakin banyak yang bisa berpartisipasi. Tema kuliner, misalnya. Semua emak-emak pasti bisa menjadi kontributornya. Kontennya adalah resep masakan di rumah masing-masing sehari-harinya.

Dengan sarana smartphone, emak-emak bisa memotret atau merekam video kegiatannya selama memasak, kemudian mengirimkan ke redaksi melalui Whatsapp atau email. Nanti redaksi yang menyeleksi, resep bertema apa akan terbit pada edisi berapa.

Model kolaborasi ini, sepertinya menarik dicoba. Emak-emak yang artikelnya terbit pasti senang. Secara tidak langsung, mereka akan percaya diri, suatu ketika pasti bisa menerbitkan buku sendiri. Sekarang ramai-ramai dulu bersama 50 orang lainnya. Kelak bisa menerbitkan e-Magz sendirian dengan konten 50 resep masakan.

Foto: Baru gagasan

About Redaksi Thayyibah

Redaktur