Breaking News
(Foto : Davy Byanca)

Saatnya Kita Uzlah

Oleh: Davy Byanca

(Foto : Davy Byanca)

Dalam sebuah riwayat disebutkan, suatu ketika Rasulullah saw berkata kepada para sahabat, ”Apabila kamu melihat banyak orang yang mengingkari janji dan tidak dapat dipercaya dalam menyampaikan amanat, mereka juga amat bakhil, maka itulah waktu yang tepat untuk ber-‘uzlah.” Abdullah bin ‘Umar ra lalu berkata, “Pada saat seperti itu apa yang harus kami lakukan, ya Rasulullah?” Nabi saw bersabda, ”Dalam kondisi seperti itu hendaknya kamu tinggal di rumah, jangan banyak bicara, kerjakan apa yang kamu tahu, tinggalkan apa-apa yang kamu tidak mengetahuinya, kerjakan perintah yang sifatnya khusus, dan tinggalkan perintah yang sifatnya umum.”

Nabi saw juga menjelaskan bahwa pada zaman itu kelak, akan banyak orang tidak saling percaya satu sama lain, banyak para mubaligh namun sediikit sekali para ulama, banyak para pengemis dan sedikit orang kaya. Para sahabat lalu bertanya, “Kapan itu terjadi, ya Rasulullah?” Nabi saw menjawab, ”Hal itu akan terjadi jika shalat sudah diabaikan, agama sudah diperjual-belikan dengan kemewahan dunia, suap-menyuap sudah merajalela, pada saat itu tak akan ada keselamatan!”

Berdasarkan riwayat tersebut, Imam Nawawi berkata, “Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia, sudah sepantasnya kita ‘uzlah saat ini.” Imam al-Ghazali menambahkan, “Jika pada zaman Imam Nawawi saja sudah pantas melakukan ‘uzlah, apalagi pada zaman kita sekarang ini, tentunya lebih wajib lagi.” Lalu Imam al-Ghazali pun ber-‘uzlah selama sebelas tahun, bahkan dua tahun di antaranya dilakukan di atas Menara Masjid Agung Damaskus. Seorang tokoh sufi lainnya, Fudhail bin Iyadh berkata, “Inilah zaman di mana kita harus menjaga lidah, tinggal di rumah, membenahi hati, mengerjakan yang kita tahu dan meninggalkan yang tidak diketahui.”

’Uzlah adalah sebuah istilah yang dikenal dalam literatur tasawuf. Kerana itu, banyak pihak yang merasa alergi dengan istilah ini, terutama pihak-pihak yang anti tasawuf. Pasalnya, mereka kerap memaknai ’uzlah dengan kacamata yang salah, seperti; berdiam diri di rumah dan pergi ke gunung atau goa, enggan shalat berjama’ah, dan mengasingkan diri dari masyarakat.

Padahal ’uzlah sesungguhnya tidak bermaksud demikian. Pengasingan diri yang dilakukan hanyalah untuk membatasi pembicaraan dengan siapa pun, bukannya membatasi kehidupan bermasyarakat. Allah swt pernah menegur Nabi Dawud as, ”Wahai Dawud, mengapa engkau menyingkir dan menyendiri?” Dawud menjawab, ”Ya Tuhanku, aku benci mahluk kerana-Mu.” Allah swt berfirman, ”Wahai Dawud, bangunlah dan bergaullah. Setiap orang yang tidak cocok denganmu dan sesuai dengan keinginanku, jangan kautemani, kerana dia merupakan musuh yang akan mengeraskan hatimu dan menjauhkanmu dari-Ku.”

Dalam kitab Shaidul Kathir, Imam Ibnu al-Jauzi menulis tiga pasal, yang secara ringkas berkata, “Saya tidak melihat dan mendengar manfaat yang lebih besar daripada ‘uzlah. Karena ‘uzlah adalah sebuah ketenangan, sebuah keagungan, sebuah kemuliaan, sebuah tindakan untuk menjauhkan dari keburukan dan kejahatan, sebuah kiat untuk menjaga kehormatan dan waktu, sebuah kiat untuk menjaga usia, sebuah tindakan untuk menjauhkan diri dari orang-orang yang dengki, sebuah perenungan tentang Akhirat, sebuah persiapan untuk bertemu Allah, sebuah pemusatan jiwa raga untuk melakukan ketaatan, sebuah pemberdayaan nalar terhadap hal-hal yang bermanfaat, dan sebuah eksplorasi terhadap nilai dan hukum dari nash-nash yang ada.”

Pelaku tasawuf memaknai ’uzlah sebagai salah satu sarana penyucian jiwa dan pembersihan kalbu. ’Uzlah merupakan latihan diri, latihan jiwa dan batin untuk memantapkan dan meng-istiqamah-kan semua langkah-langkah pencerahan yang telah ditempuh sebelumnya, khususnya dalam menjalankan ibadah-ibadah fardhu dan sunnah.

Sedangkan ’uzlah bagi orang yang telah mencapai makrifat dilakukan dalam keadaan apa saja; di rumah, di perjalanan bahkan di tengah keramaian pasar sekali pun. Mengapa demikian?

Kerana mereka adalah orang-orang kuat yang terhalang oleh penggabungan dari pemisahan (antara dzat, sifat dan perbuatan Tuhan) dan oleh yang maknawi dari yang inderawi. Bagi mereka, bergaul dan menyendiri sama saja, karena dari semua mahluk, mereka bisa mengambil bagian, tetapi mahluk tidak bisa mengambil apa pun dari mereka.

Itulah inti dari ’uzlah; mengasingkan diri dari sifat-sifat hewani dalam keadaan apa pun dan dimana pun.

Apakah kini waktu yang tepat untuk uzlah …?

 

About Redaksi Thayyibah

Redaktur