(Foto : Davy Byanca/Istimewa)

Dialog Sufistik

Oleh: Davy Byanca

(Foto : Davy Byanca/Istimewa)

Dikisahkan Syaikh Abu Dairy adalah seorang ulama terkenal, beliau menguasai ratusan kitab, santrinya mencapai ribuan, dan beliau dikenal sebagai Maha Guru. Suatu hari Syaikh Abu Dairy mengalami kegundahan hati, akhirnya beliau shalat malam untuk minta petunjuk pada Allah, dan Allah memberi isyarah lewat mimpi.

Dalam mimpinya, beliau bertemu Malaikat dan Malaikat itu memberi petunjuk, “Carilah Adi Sufi, kegundahanmu akan hilang saat engkau bertemu dengannya.” Keesokan harinya saat Syaikh Abu Dairy bangun, beliau menyuruh salah seorang santrinya untuk mencari Adi Sufi. Setelah berhasil melacak, santri pun lapor, “Ada seorang yang namanya Adi Sufi tapi dia itu orang miskin yang kelihatannya bodoh, kenapa Syaikh ingin menemui dia?” Sang Syaikh menjawab, “Sudahlah, antarkan aku ke rumah Adi Sufi sekarang juga.”

Setibanya di sana, Syaikh Abu Dairy menyampaikan salam dan mereka berdua diterima di rumahnya yang sederhana. Adi Sufi pun bertanya apa maksud kedatangan kedua tamu tersebut. Syaikh Abu Dairy menjawab, “Saya Syaikh Abu Dairy dan ini salah satu santri saya, saya datang kemari ingin minta saran kepada Anda?” Adi Sufi menjawab, “Oo, Anda ulama terkenal itu ya, apakah Anda merasa mampu jadi seorang guru?” Syaikh Abu Dairy menjawab, “Ya, saya mampu.”

Adi Sufi berkata lagi, “Kalau sudah merasa mampu untuk apa kemari. Pulanglah, tak ada gunanya Anda kemari.” Sang santri tak terima gurunya dihina, “Syaikh lebih baik kita pulang, benarkan perkiraan saya dia hanyalah orang miskin yg bodoh.” Syaikh langsung menatap tajam ke santrinya seraya berkata “Diam, kau ini tidak mengerti apa-apa!”

Beliau berkata lagi pada Adi Sufi “Tolong saya, saya belum mampu menjadi guru, saya tidak mengerti apa-apa.” Mendengar jawaban yang tulus itu, Adi Sufi berkata: “Baguslah kini kau sadar. Sekarang saya akan ajukan pertanyaan yang mudah, jika bisa menjawab maka kau layak jadi guru. Bila belum dapat menjawab, maka kau masih perlu belajar lagi.”

Adi Sufi bertanya, “Pertanyaan pertama, tahukah engkau cara makan yang benar?” Syaikh menjawab, “Tahu. Pertama baca Bismillah, kemudian makan dengan tangan kanan dan berhentilah sebelum kenyang.” Adi Sufi menukas, “Salah besar! Dasar bodoh. Pertanyaan begitu mudah saja tidak bisa kaujawab. Aneh sekali kok bisa-bisanya kau  menjadi syaikh.”

Santri yang tak tahan gurunya dihina untuk kedua kalinya menghardik, “Hai bodoh! Jangan menghina guruku, kau tidak ada apa-apanya. Guru ayo kita pulang saja, percuma bicara sama orang bodoh.” Syaikh kembali memarahi santrinya, “Diam! Ini urusanku dengan Adi Sufi. Jika kau tak suka pulang saja sendiri!”

Syaikh Abu Dairy berkata, “Ya saya memang bodoh. Tolong ajukan pertanyaan lain, insya Allah saya bisa menjawab.” Adi Sufi bertanya kembali, “Pertanyaan kedua. Tahukah engkau cara tidur yang benar?”

Syaikh menjawab, “Tahu. Sebelum tidur saya berwudlu dulu, kemudian berbaring sebagaimana berbaringnya Rasulullah saw sewaktu tidur, dan sebelum kupejamkan mata aku membaca do’a sebelum tidur serta surat al-Ikhlas 7 kali.”

Adi Sufi berkata, “Salah lagi! Baiklah, sekarang coba kaujawab pertanyaan yang ketiga. Bagaimana cara kau mengajarkan agama.” Syaikh menjawab, “Aku mengajar agama berdasarkan al-Qur’an dan Hadits. Setiap hari aku ajar mereka dengan materi baru dan berbeda, agar para santriku tidak bosan menerima pelajaranku.” Adi Sufi membentak, “Salah. Semua jawabanmu salah ..!”

Syaikh Abu Dairy terperanjat, lalu berkata, “Kalau begitu, berilah petunjuk pada diriku yang bodoh ini.” Adi Sufi berkata, “Baiklah. Jika kamu telah mengakui kekuranganmu. Sesungguhnya jawabanmu tadi itu semuanya benar, tapi benar bagi orang yang tingkatannya masih dalam taraf kesadaran mata. Sedangkan sebagai seorang syaikh, jawabanmu seharusnya lebih tinggi tingkatannya; yaitu tingkatan Kesadaran Akal. Baiklah, aku akan beri penjelasan atas semua pertanyaanku tadi.

Pertama. Cara makan yang benar; lihatlah terlebih dahulu apakah makanannya halal atau haram, suci apa najis. Jika kita makan babi, walau sudah membaca Bismillah seribu kali, tetaplah berdosa. Setelah tahu dengan jelas makanan itu halal dan suci, barulah melakukan seperti apa yang kamu jawab tadi.

Kedua. Cara tidur yang benar; yang kamu katakan tadi sebenarnya tidak seluruhnya salah, tetapi jawabanmu masih kurang tepat. Bagi orang yang berakal, tidak cukup hanya berwudhu dan berdoa, tetapi juga hatimu. Sebelum tidur, haruslah bersih dari rasa dengki, memaafkan semua kesalahan manusia, dan bersih dari rasa cinta dunia, sehingga tidurmu adalah tidur yang diridhai Allah. Walaupun kita berwudhu dan berdoa, tetapi sebelum tidur di hati ini masih ada rasa dengki, dendam atau rasa cinta dunia yang mengalahkan cinta kita pada Allah, maka tidur kita adalah tidur yang dimurka oleh Allah swt.

Ketiga. Cara mengajar yang benar; yang kamu jawab tadi itu bisa dilakukan semua orang. Tidak hanya kamu saja, orang kafir yang pandai pun bisa mempelajari al-Qur’an dan Hadits dan bisa mengajar seperti kamu. Padahal inti dari mengajar agama adalah harus disertai rasa ikhlas dan hanya mengharap ridha-Nya. Bukan pada pujian dan bayaran. Faham kamu sekarang wahai Abu Dairy ..!”

Syaikh Abu Dairy tertunduk dan berkata, “Terima kasih Adi Sufi atas ilmu yang telah diberikan. Sekarang hilang sudah kegundahan di dalam hatiku. Dan kamu santriku, jangan terlalu mudah menyimpulkan orang hanya dari penampilan, keadaan atau tutur katanya yang kelihatan kurang sopan. Terkadang dia hanya menguji kamu, sampai di mana akhlak kamu. Kamu harus belajar tasawuf sama Adi Sufi sehingga bisa berakhlak dengan benar, minta maaflah pada Adi Sufi.”

Santri berkata, maafkan kelancangan saya tadi Syekh Adi Sufi, maaf saya tadi salah paham, setelah mendengarkan penjelasan Anda, ternyata Anda orang ‘alim. Adi Sufi menjawab sambil tersenyum, ya saya maafkan dan tidak apa apa, sikap kamu membela guru kamu itu juga akhlak yg baik, tapi cara kamu tadi yg kurang baik, walau tujuan kamu benar, tapi kalau kamu pakai cara yg salah, sungguh demi Dzat Yang Menguasai langit dan bumi, maka kebenaran tersebut sulit untuk diterima.

 

About Redaksi Thayyibah

Redaktur