Breaking News
(Foto : Davy Byanca)

Sufi Berdasi

Oleh: Davy Byanca

(Foto : Davy Byanca)

Ketika kaum sufi dihujat, dimusuhi, difitnah di beberapa negara -yang mayoritas penduduknya beragama- Islam, dan dianggap sebagai kelompok yang hanya mementingkan dirinya sendiri, serta tak berani berkata ‘tidak’ terhadap kebathilan yang merajalela di sekitarnya. Masyarakat Barat malah banyak yang menjadi mualaf melalui jalan sufi.

Mengapa demikian? Karena kaum sufi dengan pendekatan kalbunya ternyata banyak menyentuh ’qalb’ orang-orang Barat yang selama ini menganggap akal dan logika sebagai panglima dalam kehidupannya. Usai era Hinduisme dengan ajaran yoga-nya yang sempat mempengaruhi masyarakat dan mewabah di Amerika dan Eropa pada tahun 70-an, kini mereka terbuai dalam keheningan telaga kesyahduan batiniah yang dipraktikkan kaum sufi. Mereka larut dalam simfoni orkestra dzikir tauhid yang dikenalkan dalam kelompok-kelompok dzikir yang hidup damai berdampingan dengan masyarakat Barat. Kejenuhan dan kelelahan dalam melakoni hidup membawa masyarakat Barat masuk ke dalam pencarian jati dirinya.

Setelah Danah Zohar dan Ian Marshall menemukan dan memperkenalkan konsep Spritual Quotitient kepada masyarakat Barat, proses pencarian jati diri pun semakin marak. Ajaran kaum sufi yang telah mentradisi selama ratusan tahun merupakan sebuah alternatif bagi mereka yang telah muak dengan pola konsumerisme yang tak ada ujungnya.

Mereka pun mulai mempertanyakan kembali makna kehidupan. Sadar bahwa hidup itu tak sekadar menumpuk kekayaan lalu mati tanpa membawa apa pun. Ada sebuah kehidupan abadi setelah kehidupan di dunia ini. Pelaku bisnis di Barat mulai terperangah saat seorang Azim Jamal muncul ke permukaan dengan konsep ’the Corporate Sufi’-nya yang disambut hangat oleh masyarakat Barat. Jamal berhasil membuat para CEO dan pelaku bisnis di Barat terpesona dengan keberhasilannya memadukan prinsip-prinsip kesufian dengan konsep dan perilaku bisnis manusia modern saat ini.

The Corporate Sufi sejatinya adalah sebuah gaya hidup baru yang tumbuh di kalangan pelaku bisnis di Barat. Mereka adalah kelompok sufi berdasi yang sadar bahwa, hidup adalah sebuah jembatan atau wadah untuk menerima dan memberi. Memberi adalah bagian dari hukum alam. Semua mahluk memberi dengan caranya masing-masing.

Sapi memberi susunya supaya dia memproduksi lebih banyak lagi; domba memberikan bulunya supaya lebih banyak wol bisa diproduksi. Kahlil Gibran berkata, “Bagi lebah, bunga adalah pancuran kehidupan. Bagi bunga memberi kebahagiaan adalah kebutuhan dan kenikmatan. Tenggelamkan diri Anda dalam kenikmatan seperti bunga bagi lebah.”

Hidup dengan prinsip kesufian telah menuntun mereka kepada apa yang hilang selama ini; happiness! Karir dan kekayaan bukan lagi merupakan tujuan. Sebuah kesuksesan usaha adalah, apabila ia dapat membawa si pelakunya kepada hal-hal yang selama ini tampak sulit dipahami oleh masyarakat Barat, yakni; kebahagiaan, kesenangan, dan kepuasan. Parameter kekayaan pun mulai berubah; dari sikap berlomba-lomba menumpuk harta beralih kepada prinsip memberi, atau berbagi kepada sesama. Orang yang kaya adalah orang yang banyak memberi, bukan banyak menerima atau mengambil.

Melalui prinsip-prinsip moral yang dikembangkan oleh para sufi –yang tentunya bersumber pada al-Qur’an dan Hadits,- para sufi berdasi ini merasa nyaman dalam menapaki jenjang karirnya, mereka merasa terlahir kembali. Pasalnya, dalam zaman tanpa gairah dan tercabik-cabik secara psikologis seperti masa ini, kesaksian para sufi tentang gairah paling tinggi, paling mulia, dan yang paling meluluh-lantakkan seluruh gairah manusia ini –yakni gairah jiwa kepada Sang Kekasih- punya kekuatan yang luar biasa bagi penyadaran manusia.

Para sufi melalui ajaran tauhid dan moral mereka telah memompakan kembali darah itu kepada kita agar hidup ini tetap menjadi kaya. Mereka selama ratusan tahun telah mengasah filsafat kehidupannya dalam angin padang pasir. Di sana kehidupan tidak mendefinisikan diri seperti yang terjadi di tempat lain. Inilah hidup yang membutuhkan segala rupa untuk bertahan. Anehnya, kebanyakan tumbuhan yang hidup di sana harum mewangi. Cemara dan pohon gaharu bertahan hidup di sana. Tidak ada korupsi di sana, dan apa yang kita pandang sebagai kesunyian barangkali adalah nama lain bagi kepolosan. Begitulah para sufi bicara. Padat, tanpa ornamen.

Dalam Ode-nya, Rumi menerangkan bahwa gairah itu adalah sebuah ”badai menderu di mana seluruh rumah diri-palsu diratakan dengan tanah selamanya.” Sebuah penataan diri untuk kembali dalam fitrah-Nya dalam kondisi apa pun, siapa pun dan di mana pun.

Tanpa harus mengenakan surban, kupiah atau simbol keagamaan lainnya. Para sufi berdasi telah turut mengenalkan Islam melalui keteladanan dirinya, tanpa harus bicara ayat, apalagi menjual ayat-ayat suci untuk dakwah, tapi senyatanya demi keuntungan pribadi.

 

About Redaksi Thayyibah

Redaktur