Breaking News
(Foto : Davy Byanca)

Wewangian Istighfar

Oleh: Davy Byaca

(Foto : Davy Byanca)

Ada dialog optimisme antara Rasulullah saw dengan seorang pemuda ahli maksiat yang sering saya sampaikan kepada peserta pelatihan. Begini kisahnya.

Seorang pemuda mendatangi Rasulullah saw dengan muka yang menahan malu seraya berkata, ”Ya Rasulullah, celakalah diriku!” “Apa yang telah kaulakukan?” tanya Rasulullah. “Dosaku teramat besar, ya Rasul, dan tidak mungkin Allah mengampuniku.” “Apakah dosamu lebih luas dari Sahara?” “Tidak, ya Rasulullah, bahkan dosaku lebih luas dari itu.” Apakah dosamu setinggi Gunung Uhud?” “Tidak, ya Rasulullah, bahkan dosaku lebih tinggi dari itu!” Apakah dosamu sebesar bumi?” “Tidak, ya Rasulullah, bahkan dosaku lebih besar dari itu!” “Apakah dosamu lebih besar daripada langit dan bumi? Ketahuilah, wahai pemuda, sesungguhnya ampunan Allah lebih luas dari semua yang ada, baik di bumi dan di langit.”

Mengapa saya suka menyampaikan dialog ini? Kerana dalam kisah ini terdapat getar atau vibrasi kasih-sayang Ilahi. Kita semua tahu hidup ini tak pernah mulus, hawa nafsu seringkali menghempaskan kita dari bukit kesucian. Berkali-kali kita mencoba mendaki, namun berkali-kali pula kita terhempas. Tapi, yakinlah, kita tak hanya berpotensi berbuat salah, tetapi juga dikaruniai kemampuan belajar dari kesalahan-kesalahan itu. Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya Dia menutupi hatiku, maka saya memohon ampun kepada Allah sehari tujuh puluh kali.” (HR. Muslim dan Abu Dawud).

Tak percaya? Bukankah para Nabi Allah ternyata juga tumbuh dari kesalahan-kesalahan masa lalunya. Nabi Ibrahim as misalnya, beliau menemukan agama tauhid melalui suatu runtutan upaya yang ‘keliru’ (QS al-An’aam [6]: 75-82). Nabi Musa as melakukan pembunuhan yang tak disengaja tapi lalu menyesal dan mengambil pelajaran darinya (QS al-Qashash [28]: 15-19). Nabi Daud as diajari suatu pelajaran penting yang menyadarkan akan kesalahannya di masa lalu (QS Shaad [38]: 21-26).

Taubat itu ibarat sabun, sebagaimana sabun dapat menghilangkan kotoran, maka taubat pun dapat menghilangkan kotoran batin (dosa). Yakinlah bahwa segala macam keburukan yang telah lalu, dapat berbalik menjadi kebaikan melalui taubat. Penyesalan dan koreksi diri itu niscaya dapat mengubah orang untuk taat kepada Allah. Jadi yang kita butuhkan sesungguhnya adalah kejujuran terhadap diri sendiri. Keberanian untuk mengakui kekeliruan, kesalahan dan kekhilafan kita. Itulah hakikat istighfar!

Mawlana Rumi berkata, “Jika engkau belum mempunyai ilmu dan hanya persangkaan. Milikilah persangkaan yang baik tentang Tuhan. Begitulah caranya. Jika engkau belum mampu bergerak, maka merangkaklah kepadanya.” Kerana Tuhan dalam rahmat-Nya tetap menerima mata uang kepalsuan kita. Kendati telah seratus kali kita ingkar kepada-Nya. Datang dan kembalilah kepada-Nya.

Begitulah. Dengan mengggunakan wewangian istighfar, niscaya Allah swt tidak akan mempermalukan kita dengan bau busuk dan dosa-dosa kita, begitu kata Imam Ali bin Abi Thalib ra. Bila Allah swt mengampuni kita, Dia memberikan lebih dari sekadar menghapus dosa-dosa kita. Dia menerima taubat kita dan datang menolong kita (QS aali-Imraan [3]: 31). Dia membantu kita memperbaiki kerusakan yang kita timpakan atas diri kita sendiri (QS al-Ahzaab [33]: 71), dan Dia membimbing kita kepada perbaikan (QS al-Hadiid [57]: 78).

 Yaa Rabb .. kelu lidah ini kerana berbilang memohon ampunan kepada-Mu, berbilang pula kemaksiatan yang kulakukan. Dengan rahmat dan cinta-Mu .. kuberharap .

About Redaksi Thayyibah

Redaktur