Breaking News
(Foto : Okezone)

Sepele bagi Kita, Mewah bagi Mereka

Oleh: Gus Nur

(Foto : Okezone)

Abdullah bin Mubarok, salah seorang waliyulloh, selepas berhaji pernah kasyaf, dalam mimpinya melihat percakapan 2 malaikat.

M (Malaikat) 1: Berapa yang haji sekarang?

M (Malaikat) 2: 700 ribu.

M1: Berapa yang mabrur?

M2: Tak satupun. Tapi ada 1 orang yang tidak berhaji dan mendapat ibadah haji mabrur.

M1: Siapa dia?

M2: Said bin Muhafah, tukang sepatu dari Damsyiq.

Abdullah bin Mubarak terbangun seketika, heran dan lalu memutuskan mencari Said bin Muhafah. Ditempuh perjalanan Makkah ke Damsyiq (Suriah), sampai akhirnya ketemu rumah Said.

A (Abdullah bin Mubarok): Assalamualaikum, hai saudaraku.

S (Said bin Muhafah): Waalaykumssalaam warahmatullaahi wabarakaatuh. Siapakah engkau saudara?

A: Aku Abdullah bin Mubarak.

S: MaasyaAllah, engkau ulama’ besar. Ada apa gerangan menemuiku.

A: Aku melihat percakapan 2 malaikat yang bilang dari 700 ribu yang berhaji tahun ini tidak ada yang mabrur. Tapi engkau yang tidak berhaji justru dapat pahala haji mabrur. Gerangan apa amalan yang engkau lakukan?

S: Aku sendiri tidak tahu wahai tuan.

A: Ceritakan yang kamu lakukan akhir-akhir ini,

Maka Sa’id bin Muhafah bercerita:

Tiap tahun, setiap musim haji, aku selalu mendengar: Labbaika Allahumma labbaika. Labbaika la syarika laka labbaika. Innal hamda wanni’mata laka wal mulka. Laa syarika laka.

Setiap kali aku mendengar itu, aku selalu menangis. Ya Allah aku rindu Mekah. Ya Allah aku rindu melihat Ka’bah. Ijinkan aku datang Ya Allah… ijinkan aku datang…

Maka sejak puluhan tahun yang lalu tiap hari aku sisihkan sedikit demi sedikit. Akhirnya pada tahun ini, aku punya 350 Dirham yang cukup untuk berhaji. Dan akupun sudah siap berhaji.

Namun, waktu itu Istri saya hamil, dia sedang ngidam berat dan Berkata kepada ku. “Suamiku, tidakkah kau cium bau masakan yang nikmat ini?”

“Ya, sayang.”

“Cari wahai suami ku, barangkali bisa engkau dapat sedikit untukku.”

Maka aku cari sumber bau masakan itu. Ternyata berasal dari gubug reot. Ada janda dengan enam anaknya.

Aku bilang padanya, bahwa istriku hamil lagi ngidam, dia ingin masakan yang ia masak, meskipun sedikit.

Si janda itu diam. Aku ulangi perkataanku. Akhirnya ia bilang, “Tidak boleh tuan.”

“Aku akan beli.”

“itu tidak dijual, tuan,” katanya sambil terisak.

“Kenapa?”

Sambil menangis dia berkata, “Daging ini halal untuk kami tapi haram untuk tuan.”

“Bagaimana bisa?”

“Sudah beberapa hari ini kami kelaparan. Tidak ada makanan sedikitpun. Dan aku lihat keledai mati, lalu ku ambil sebagian dagingnya. Maka bagi kami daging ini halal, karena andai tak makan kami akan mati. Namun bagi tuan, daging ini haram.” katanya sambil menangis.

Mendengar itu akupun menangis, lalu aku ceritakan kejadian itu pada istriku, dan diapun menangis. Kami akhirnya memasak makanan. Aku datangi rumah janda itu. “Ini masakan untukmu wahai saudaraku, dan ini uang 350 dirham pakailah untukmu sekeluarga. Gunakanlah agar engkau tidak kelaparan lagi.”

Ya Allah,  disinilah hajiku. Ya Allah, disinilah Mekahku.

(Kisah di atas, dinukil dari) kitab: Irsyadul ‘Ibaad ilaa Sabiilir Rosyaad.

***

Nah, terkadang sesuatu itu haram bagi kita namun halal bagi mereka. Sepele bagi kita namun sangat mewah bagi mereka.

Sebelum covid, sering teman-teman anak saya yang tinggal di panti asuhan main-main kerumah selepas sekolah. Tiap jumat tak minta datang sekedar makan atau bikin kacang ijo. Karena itu saja sangat mewah bagi mereka. Dikasih Rp 5 ribu saja sudah bikin mereka gembira luar biasa, karena bisa beli jajan di mini market. Bagi mereka mini market itu sesuatu yang mewah, belum tentu setahun sekali mereka bisa masuk.

Ada yang bilang ke anak saya, “Mbak, saya ikut manggil ayah ke ayahnya mbak boleh kah?” Hati saya kaya ketusuk mendengarnya. Karena banyak mereka yang gak punya orang tua, atau bahkan dibuang oleh keluarganya.

Pulang sekolah lihat teman-temannya dijemput orang tua, mereka cuma bisa melihat saja. Mungkin rindu keluarga, ingin merasakan pelukan orang tua.

Ada yang bilang ke saya, “Om, libur puasa saya boleh pulang ke sini nggak? Saya pengen hari raya disini.”

Sayangnya karena musim covid semua di karantina. Kadang kangen juga dengan celoteh mereka. Walopun kadang jengkelin. Dibiarin bikin kopi sendiri, eh, gula dan bubuknya lebih stengah gelas. Dah gitu karena gak enak, dibiarin kopiku mubazir.

Kita yang hidup enak dan mapan seringkali mengeluh merasa susah. Padahal penderitaan kita itu nggak ada apa-apanya dibanding mereka. Dan selayaknya kitalah yang memberikan kebahagiaan pada mereka.

‏يأتي أنيس في قبرك يؤنس وحدتك فتقول له من أنت، فيقول أنا السرور الذي ادخلته علي فلان

“Kelak akan hadir seorang teman yang menghibur saat engkau sendirian dalam kubur, lalu kau bertanya: Siapa sebetulnya anda? Aku adalah kebahagiaan yang dulu engkau masukkan ke dalam hati seseorang.”

Semoga kita bisa senantiasa membahagiakan orang lain.

 

About Redaksi Thayyibah

Redaktur