Breaking News
(Foto : Pinterest)

Mengungkap Sedikit Makna Albaqarah 30

Oleh: Gus Nur

(Foto : Pinterest)

Ketika Allah memberi kabar kepada malaikat,

اني جاعل فى الارض خليفة

“Sesungguhnya Aku akan menjadikan di bumi ini seorang khalifah.”

Maka Imam Alqurthubi menjelaskan dalam tafsirnya,

هذه الآية أصل في نصب إمام وخليفة يسمع له ويطاع

“Ayat ini adalah dasar dalam pengangkatan imam  dan khalifah yang didengar dan dita’ati.”

‘Ashlun’ itu dasar. Artinya, tanpa dalil yang lain cukup menjadi dasar perintah mengangkat khalifah.

Mungkin kita bertanya, “bagaimana bisa ayat tersebut jadi dasar wajibnya Nasbul Khalifah (mengangkat khalifah)? Itu kan, kalam khobar bukan kalam amar, kalimat berita bukan kalimat perintah?”

Maka kita ambil sebuah analog, semisal ayah kita yang sudah sepuh sudah sangat tua mau wafat, lalu bilang, “Nak, ayah kepingin berhaji”. Maka apa yg kita lakukan?

Tentunya kita akan berusaha mewujudkan keinginan mendiang ayah kita, kita jual hartanya untuk segera berhaji, bahkan kalau tidak cukup kita tambah dengan harta kita demi melaksanakan wasiat ayah kita.

Ini adalah sikap kita terhadap keinginan ayah kita, maka apalagi seharusnya terhadap Kalamulloh, terhadap firman-firman Allah. Maka harus lebih dan lebih kita ugemi, kita laksanakan. Karena banyak sekali kalimat berita yang menunjukkan wajib. Tidak perlu kalimat perintah untuk melaksanakan apa yang dikehendaki Allah SWT.

Karena demikianlah para sahabat memandang wasiat Rasul juga, ketika Baginda Nabi mengkhabarkan:

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الْأَنْبِيَاءُ

Bahwa Bani IsraeI diurus oleh para nabi

، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِي

Ketika satu nabi wafat digantikan nabi yang lain

، وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي

Dansesungguhnya tidak ada nabi setelahku

وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ

Dan akan segera ada para khalifah

 Penambahan siin setelah fi’il mudhori’ menunjukkan waktu “segera akan terjadi”.

Maka para sahabat memandang satakuunu khulafa’, sebagai perintah untuk segera mewujudkan khilafah, sebagai kewajiban yang harus segera dilakukan utk memunculkan pengganti Nabi Muhammad saw.

Maka bahkan ketika baginda Nabi wafat, yang dilakukan para sahabat adalah mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah terlebih dahulu dan baru mengurus jenazah Nabi setelah 3 hari 2 malam. Padahal mengurusi jenazah itu fardhu, apalagi jenazah Kanjeng Nabi, sebaik-baik makhluk.

Tapi tidak ada satupun sahabat yang mengkritik, tidak ada yang protes, yang ini menunjukkan ijmaa’an (secara ijma’) bahwa nashbul khalifah awjab. Mengangkat khalifah itu lebih wajib.

Lalu khalifah yang bagaimana yang dimaksud? Di ayat yang sama malaikat juga bertanya:

أَتَجۡعَلُ فِیهَا مَن یُفۡسِدُ فِیهَا وَیَسۡفِكُ ٱلدِّمَاۤءَ

“Apakah Engkau akan menjadikan disana orang yang merusak dan menumpahkan darah?”

 Maka Allah menepisnya

إِنِّیۤ أَعۡلَمُ مَا لَا تَعۡلَمُونَ

“Aku lebih tahu apa yg kamu tdk tahu.”

Jawaban Allah swt ini menegasikan pertanyaan para malaikat. Jawaban Allah ini menunjukkan mafhum mukholafah, bahwa khalifah yang akan dijadikan Allah ini berbeda sifat dengan yang disebut para malaikat.

Jika sebelumnya yufsidu (pembawa kerusakan), maka khalifah haruslah yushlihu, (pembawa maslahat). Maka qaidah, haytsumaa takuunus syar’u takuunul maslahah, (dimana ada syariat disitu ada maslahat).

Khalifah yang dimaksud adalah khalifah yg menerapkan syariat Allah, sehingga maslahat dunia akhirat bisa terwujud. Khalifah yang menjalankan syariat Allah SWT. Bukan yang menerapkan syariat-syariat yang lain. Ini adalah wasiat Rasulullah saw kepada kita.Kalau terhadap warisan dan wasiat Beliau kita abai, mau jadi umatnya siapa kita?

Semoga Allah menguatkan kita untuk mengangkat addiin ini sampai akhir hayat kita.

 

About Redaksi Thayyibah

Redaktur