Breaking News
(Foto : Istimewa)

Kopi 10 November

Oleh : Gus Nur

 

(Foto : Istimewa)

Ada kisah menarik yang diungkapkan Kyai Qadir ketika saya sowan beliau malam 10 November. Bahwa 10 November itu sebenarnya merupakan gerakan ulama.

 Riwayat dari guru beliau, Kyai Hamid Baidlowi, bahwa pada awalnya jihad itu akan dilakukan tanggal 9 November. Namun ditunda menunggu kehadiran salah satu kyai “penjaga langit” yang terlambat hadir karena sakit. Karena ada tiga ulama yang waktu itu bertugas menjaga lautan, menjaga daratan dan menjaga langit. Dan geraknya masyarakat dalam berjihad menunggu titah dari para ulama. Sehingga 10 November sejatinya adalah juga hari “Kebangkitan Ulama”.

Beliau menukil riwayat dari Kyai Imron Hamzah, dikala itu Kyai Wahab Hasbullah memerintahkan Fatayat untuk turun ke jalan. Ramai beliau dikritik para ulama lain karena dianggap melakukan keharaman, memerintahkan para wanita berdemo, menampakkan diri dihadapan umum. Maka masyhur jawaban beliau yang cuma sekelumit, “Al-ardlul maghsubah la tamna’u wujuubas sholah”, (Tanah yang dirampas (penjajah) itu tidak menghalangi wajibnya sholat).

Maka para ulama yang lain terbungkam, terdiam, karena merasa tersindir. Karena mereka memahami makna yang dimaksud. Seolah-olah mereka dihardik dengan keras, “Kalian berkomentar terhadap sesuatu yang kecil. Padahal sesuatu yang sangat besar sedang terjadi. Indonesia ini sedang dijajah, dan butuh diperjuangkan. Kalau kalian wahai para lelaki tidak bergerak, tidak berjuang, maka biar perjuangan ini dilakukan para wanita saja”.

 Dan beliau mengomentari penghinaan Macron kepada Rasulullah saw, bahwa sebagai muslim harus marah. Dan harus berusaha menampakkan kemarahannya. Karena kalau orang itu kalau dihina, dirinya sendiri bisa memafkan. Tapi kalau bapaknya yang dihina, maka nggak ada anak yang gak mengangkat cluritnya. Apalagi ini adalah Rasulullah saw, yang kita diperintahkan untuk mencintainya lebih daripada kita mencintai diri kita sendiri.

 Maka ketika ada temannya yang justru mengajak untuk tidak memboikot Prancis, beliau menunduk geleng kepala bergumam, “Ar-ridlo bil kufri kufrun”.

Wal hasil, sayapun harus menutupnya dengan curhatan saya. “Beginilah pak Kyai, Rasulullah saw akan selalu dihina, kehormatan Beliau akan senantiasa dilecehkan waktu demi waktu. Belum selesai Macron muncul Wilder yang menghina Nabi kedua kalinya. Sementara penguasa negara-negara Islam membisu, nggak ada yang berkomentar. Maka kalau hanya kecaman rakyat saja ibarat angin lalu, mereka nanti akan kembali melakukan penghinaan lagi melecehkan Rasulullah lagi. Dan tidak akan berhenti sampai adanya institusi negara yang menghentikannya. Kalau nggak khilafah apalagi?”

Jadi 10 Nopember ini momentum untuk menghayati perjuangan. Kita merenung, sedang ada di posisi manakah kita.

 

About Redaksi Thayyibah

Redaktur