Breaking News
Masyarakat menolak RUU HIP (Foto : republka)

HUBUNGAN RUU HIP, RUU BPIP DENGAN PDI-P

Oleh: Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. (Direktur HRS Center)

 

Masyarakat menolak RUU HIP (Foto : republka)

Sebagaimana diketahui bahwa DPR telah mensahkan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) sebagai salah satu RUU Prolegnas Prioritas. Seiring dengan itu, pemerintah telah mengusulkan Rancangan Undang-Undang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU BPIP). Sama seperti RUU HIP, juga menimbulkan polemik dan penolakan di masyarakat.

Baik RUU HIP maupun RUU BPIP keberadaannya tidak dapat dilepaskan dari penetapan tanggal 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila melalui Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila.

RUU HIP telah mereduksi Pancasila itu sendiri. Tidak berhenti di sini, RUU HIP merupakan bentuk ‘kudeta’ terhadap Pancasila. Dikatakan demikian, sebab mengambil peran penentu ‘validitas’ seluruh tata hukum positif. Peran penentu validitas dimaksud mengacu kepada Trisila dan Ekasila dengan sendi pokok Keadilan Sosial yang menegasikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Adapun kedudukan BPIP menurut Perpres Nomor 7 Tahun 2018 Tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila memiliki tugas antara lain yang paling strategis adalah perumusan arah kebijakan Pembinaan Ideologi Pancasila dan penyusunan Garis-Garis Besar Haluan Ideologi Pancasila dan Peta Jalan Pembinaan Ideologi Pancasila. Garis Besar Haluan Ideologi Pancasila hasil kajian BPIP telah pula menjadi referensi utama dalam RUU Pembinaan Haluan Idelogi Pancasila yang kini menjadi RUU HIP. Dengan demikian, Pembinaan Ideologi Pancasila, Garis Besar Haluan Ideologi Pancasila dan Peta Jalan Pembinaan Ideologi Pancasila berkorespondensi dengan Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila. Kesemuanya itu terhubung dengan kerja politik ideologis PDI-P. Kerja politik ideologis dimaksud yakni membentuk dan membangun karakter bangsa berdasarkan Pancasila 1 Juni 1945. Hal ini ditegaskan dalam mukadimah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PDI-P tahun 2019-2024. Dalam mukadimah tersebut ditegaskan konsepsi Trisila dan Ekasila, selain membumikan ajaran-ajaran Bung Karno sebagai teori perjuangan sekaligus tujuan dari perjuangan politik.

Ideologi Pancasila 1 Juni 1945 yang diklaim PDI-P selain a-historis juga mengandung kepentingan strategis. Kepentingan strategis dimaksud setidaknya menunjuk pada tiga hal. Pertama, menjadikan pidato Bung Karno 1 Juni 1945 sebagai ideologi Pancasila. Kedua, legalisasi ajaran-ajaran Bung Karno dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketiga, menjadikan PDI-P sebagai pemimpin ideologi Pancasila 1 Juni 1945. Ketiga hal tersebut pada prinsipnya adalah satu kesatuan yang terintegrasi dan terkait dengan Peta Jalan Trisila dan Ekasila yang menjadi visi dan misi PDI-P. Dalam Piagam PDI-P disebutkan bahwa “Piagam PDI-P sebagai haluan politik Partai”. Kemudian, Pasal 10 huruf g Anggaran Dasar PDI-P menyebutkan Partai mempunyai tugas: “mempengaruhi dan mengawasi jalannya penyelenggaraan negara agar senantiasa berdasarkan pada ideologi Pancasila 1 Juni 1945 dan Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, serta jalan TRISAKTI sebagai pedoman strategi dan tujuan kebijakan politik Partai demi terwujudnya pemerintahan yang kuat, efektif, bersih dan berwibawa.”

Apabila RUU HIP berhasil ditetapkan menjadi undang-undang, maka tugas partai sebagaimana disebut “mempengaruhi dan mengawasi jalannya penyelenggaraan negara agar senantiasa berdasarkan pada ideologi Pancasila 1 Juni 1945” dikatakan berhasil. Dikatakan demikian, oleh karena memiliki keterhubungan dengan fungsi Haluan Ideologi Pancasila. Disebutkan dalam RUU HIP, Haluan Ideologi Pancasila merupakan pedoman bagi Penyelenggara Negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi terhadap kebijakan Pembangunan Nasional di bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, mental, spiritual, pertahanan dan keamanan yang berlandaskan pada sistem nasional ilmu pengetahuan dan teknologi (Pasal 34 jo Pasal 4 huruf b). Sebaliknya, apabila RUU HIP tidak lagi dilakukan pembahasan pada masa sidang berikutnya dan digantikan dengan RUU BPIP, maka tetap saja memberikan porsi bagi kerja politik ideologis PDI-P.

Peranan Megawati selaku Ketua Dewan Pengarah BPIP yang notabene Ketua Umum PDI-P tentunya demikian strategis. Terlebih lagi disebutkan dalam Pasal 10 RUU BPIP bahwa Dewan Pengarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dapat menunjuk Ketua atau salah satu anggotanya untuk menjabat ex officio Dewan Pengarah di kementerian/badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang riset, teknologi, dan inovasi. Rumusan yang demikian juga terdapat dalam RUU HIP. Disebutkan dalam Pasal 48 ayat 6 RUU HIP bahwa kedudukan Ketua Dewan Pengarah menjabat ex officio Ketua Dewan Pengarah di badan yang menyelenggarakan riset dan inovasi nasional.

Ambisi PDI-P untuk memimpin ideologi Pancasila 1 Juni 1945 mempergunakan Presiden Jokowi sebagai pemegang kekuasaan dalam Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila. Namun, kekuasaan tersebut menjadi tidak original, sebab di mata PDI-P Jokowi adalah petugas partai. Dapat dikatakan keberadaan BPIP baik melalui RUU HIP maupun RUU BPIP akan terhubung dengan kerja politik ideologis PDI-P. Di sisi lain, peranan Megawati sebagai Ketua Dewan Pengarah yang demikian luas itu menjadikan dirinya sebagaimana layaknya Ketua Dewan Pengarah Negara dalam rangka optimalisasi ideologi terpimpin Pancasila. Klaim Pancasila 1 Juni 1945, mengandung makna mengambil posisi ‘premis awal’, melalui konsepsi Trisila dan Ekasila dengan tafsir tersendiri yang tidak dimiliki oleh selainnya. Tidak pula ada yang mengetahui secara pasti hakikat teori perjuangan yang menjadi tujuan dari perjuangan politik PDI-P, selain yang merumuskan tujuan itu sendiri.

Penting untuk dicatat, bahwa RUU BPIP memberikan kewenangan bagi BPIP untuk menentukan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan fungsinya melalui Peraturan BPIP. Hal ini bermakna BPIP memiliki kekuasaan penuh untuk menentukan tugas dan fungsinya secara mandiri. Ini patut dipertanyakan.

Pasal 7 RUU BPIP menyebutkan tugas BPIP melembagakan nilai-nilai Pancasila dalam sistem pendidikan nasional, ilmu pengetahuan dan teknologi, kegiatan riset dan inovasi; sistem pembangunan nasional; sistem politik yang demokratis; pembentukan, pelaksanaan, dan penegakan hukum, serta politik luar negeri; dan menyusun materi dan metodologi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan Pembinaan Ideologi Pancasila. Pasal 8 RUU BPIP menyebutkan fungsi BPIP, yang paling strategis adalah: perumusan arah kebijakan, dasar dan strategi kebijakan, dan Peta Jalan Pembinaan Ideologi Pancasila; pelembagaan nilai-nilai Pancasila dalam pembentukan, pelaksanaan dan penegakan hukum; dan penyusunan materi, metodologi, monitoring dan evaluasi Pembinaan Ideologi Pancasila. Sebagai perbandingan dalam Pasal 45 RUU HIP disebutkan tugas yang paling strategis BPIP adalah mengarahkan, monitoring, dan evaluasi kebijakan Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila dalam rangka kebijakan hukum nasional yang dilaksanakan dan diintegrasikan oleh kementerian atau badan yang menyelenggarakan hukum dan/atau perundang-undangan. Lebih dari itu BPIP juga bertugas mengarahkan, membina, dan mengoordinasikan pelaksanaan Haluan Ideologi Pancasila di lembaga-lembaga negara, kementerian/lembaga, lembaga pemerintahan nonkementerian, lembaga nonstruktural, dan Pemerintahan Daerah.

Dengan demikian, BPIP bewenang merumuskan lebih lanjut nilai-nilai Pancasila yang akan dilembagakan. Inilah yang akan membuka peluang penafsiran sepihak terhadap Pancasila oleh BPIP. Menjadi kekhawatiran bahwa tafsir Pancasila yang dimaksudkan akan disesuaikan dengan kerja politik ideologis PDI-P.

 

(Judul di atas oleh redaksi dari asli KETERHUBUNGAN RUU HIP DAN RUU BPIP DENGAN KERJA POLITIK IDEOLOGIS PDI-P)

About Redaksi Thayyibah

Redaktur