Breaking News

Hotel Besutan Yusuf Mansur, Dari Syariah Menjadi Kos-Kosan

Oleh: HM Joesoef (Wartawan senior)

 Hotel Siti 

 

Masih ingat Hotel Siti yang berada di jalan M Toha km 2.1, Pasar Baru, Tangerang, Banten? Ya, ini hotel besutan Yusuf Mansur. Pernah tenar bukan karena pelayanannya, tapi hotel ini dibangun dari patungan usaha para jamaah yang akhirnya bermasalah.

Awalnya, di tahun 2012, Yusuf Mansur hendak membeli dua properti yang saat itu sedang “mangkrak”. Bangunan sudah ada, setengah jadi, yang awalnya diperuntukkan untuk apartemen. Yusuf Mansur hendak membeli dua bangunan tersebut, satu akan dia sulap jadi hotel, satu bangunan akan dipakai untuk apartemen.

Tarif Hotel Siti tidak termasuk sarapan pagi. Para tamu boleh makan/sarapan dengan biaya tamanahan Rp. 50.000. Jika itu dianngap mahal, tak usah khawatir karena di depan Hotel Siti ada tukang nasi uduk layaknya di pemukiman.

 

Maka, berkelilinglah Yusuf Mansur, dari kota ke kota, untuk menggalang dana. Maka dibuatlah patungan usaha dan patungan aset. Patungan usaha niainya Rp 10 juta sampai Rp 12 juta per lembar “saham”. Sedangkan patungan aset, nilainya Rp 2 jutaan per “saham”. Yusuf Mansur pun menampung dana melalui salah satu rekening pribadinya. Dalam proposalnya, Yusuf menjanjikan bahwa investasi yang ditanam oleh para jamaah akan mendapat bagi hasil yang dibayarkan setiap tahunnya. Juga, laporan keuangan yang akan diberikan secara berkala.

Ternyata, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendeteksi patungan usaha dan patungan aset yang tak berizin dan menyalahi aturan yang ada. Untuk menghimpun dana masyarakat, tidak diperkanankan atas nama pribadi. Lalu, pada Juli 2013, OJK menjewer Yusuf Mansur. Patungan usaha dan patungan aset dihentikan. Tapi, sebanyak 1900 orang sudah menjadi investor, dengan dana yang terkumpul sebesar Rp 24 milyar. Uang sebesar inilah, menurut Yusuf, yang dibelikan bangunan yang kini jadi hotel Siti. Sedangkan bangunan apartemen, tak bisa dibelinya, karena tak ada uang.

Karpet Hotel Siti. Kotor, bau dan pengap.

 

Oleh Yusuf Mansur, Hotel Siti dipromosikan sebagai hotel syariah, sebagai tempat transit jamaah haji dan umroh, baik ketika mau berangkat maupun datang dari kota suci. Para investor pun diiming-imingi dengan berbagai fasiltas dan bagi untung. Setelah direnovasi sana-sini, hotel Siti resmi dibuka, awal tahun 2015. Manajemen Horison digandeng untuk mengelolanya.

Rupaya, meski sudah dikelola oleh pihak Horison, hotel Siti yang terletak di kawasaan macet itu, tak juga bagus performanya. Jamaah haji dan umroh yang diharapkan bisa menginap di sini, baik sebelum berangkat maupun setelah pulang dari tanah suci, tak pernah terjadi. Hotel Siti pun menjadi sepi dan selalu menanti tamu yang tak kunjung hadir.

Apartemen Hotel Siti tampak reruntuhan puinhg dari jendela-jendela kamarnya. Pertanda apartemen ini tak berfungsi.

 

Akhirnya, pada tahun 2017, Horison hengkang dari Siti. Tulisan Horison yang ditempel di kaca depan lobi hotel mulai dikelupas. Lalu manajeman pun berubah 100 persen. Hotel Siti tak lagi menjual sebagai hotel syariah. Jika sebelumnya, para tamu hotel yang berpasangan, pria-wanita, akan selalu dimintai KTP-nya dan dicocokkan apakah mereka pasangan mahrom atau bukan, sejak tahun 2017 itu tak lagi dilakukan, juga tak pernah ditanya. Seorang teman yang sengaja membawa istrinya menginap di Siti, hanya diminta KTP salah satunya saja, dicatat, lalu kembalikan lagi.

Hotel Siti yang berlantai 11 dengan 130 kamar itu terdiri dari 3 jenis kamar. Superior, Deluxe, dan Suite. Harga yang dipatok mulai dari Rp 760.000 sampai Rp 1.300.000 per malam. Ketika kami berkunjung ke hotel Siti pada pertengahan September 2019, kamar yang dijual hanya yang superior, dengan harga Rp 300.000 per malam.

Ketika pada Kamis (21/11) penulis menginap di Hotel Siti, kamar yang dijual sudah berubah lagi. Semua jenis kamar ada, mulai dari Superior, Deluxe, dan Suite. Yang superior dipatok Rp 250 ribu, Deluxe dengan Rp 350 ribu, dan Suite dengan Rp 650 ribu. Dan ada yang mengejutkan, hotel ini juga dijadikan kos-kosan dengan mengutip Rp 2,5 juta per bulan untuk kamar Superior yang terletak di lantai 3 dan 4.

Adapun kondisi kamar hotel juga nampak tak terurus. Kamar penulis yang terletak di lantai 3, ada dua saklar. Satu untuk listrik, satunya untuk AC. Jika AC dinyalakan, selang beberapa jam, saklarnya turun dan AC-nya mati. Begitu seterusnya. Dari lantai 1 sampai lantai 6, lantai hotel tidak berkarpet. Lantai 7 sampai 11 lantainya berkarpet, tapi bau “pengap” yang berasal dari karpet pertanda tidak pernah di vacuum cleaner, sangat terasa.

Dan yang terakhir, sebagai konsekuensi dari tak lagi bersyariah,tamu hotel bisa bebas keluar masuk dengan membawa pasangan yang bukan mahromnya. Di hotel Siti memang tidak disediakan jasa pemijat. Tapi para pemijat wanita, baik yang sudah setengah tua maupun yang masih muda, bisa keluar masuk hotel pada jam berapa pun, tanpa ada hambatan.

Inilah ironinya hotel Siti, dari hotel dengan manajemen Horison dan bersyariah, kini menjadi hotel konvensional dan tak lagi mengedepankan norma-norma keagamaan. Bagaimana pula dengan para investor yang tahu bahwa investasinya ternyata digunakan untuk membeli dan mengelola hotel non-syariah yang rawan akan pelanggaran norma-norma agama?

About Redaksi Thayyibah

Redaktur