Breaking News

MENTERI AGAMA (TAK) MENGURUS UMAT ISLAM?

Oleh: Dr. Ahmad Yani (Advokat, Dosen FISIP dan Fakultas Hukum UMJ)

Kantor Kementerian Agama di Jakarta

 

Menteri Agama secara historis didirikan untuk mengakomodasi kepentingan umat Islam dalam menjalankan syariat. Kementerian ini didirikan pada 1946 sebagai kompromi politik atas hilangnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945.

Kita mengetahui bahwa setelah proklamasi 17 Agustus 1945, umat Islam melalui tokoh-tokoh politiknya merelakan tujuh kata demi keutuhan bangsa. Meskipun alasan keutuhan masih menimbulkan tanda tanya hingga hari ini, namun sikap moderat umat Islam merelakan piagam Jakarta menjadi Pancasila tidak bisa dinilai secara murah oleh siapapun. Itu pengorbanan besar yang tak akan dilupakan.

Pengorbanan Umat Islam atas tujuh kata dalam piagam Jakarta, menjadi perhatian utama bagi pendiri bangsa. M. Yamin, berkata “Tidak cukuplah jaminan kepada agama Islam dengan Mahkamah Tinggi saja, melainkan harus kita wujudkan menurut kepentingan agama Islam sendiri. Pendek kata menurut kehendak rakyat, bahwa urusan agama Islam yang berhubungan dengan pendirian Islam, wakaf dan masjid, dan penyiaran harus diurus oleh kementerian yang istimewa, yaitu yang kita namai Kementerian Agama.”

Pernyataan yamin itu menjadi bukti sejarah bahwa kementrian agama adalah dibuat khusus untuk umat Islam dalam mengakomodir segala kepentingan umat Islam. Selain itu, Kementerian Agama juga yang menjadi titik temu antara nasionalis sekuler dan nasionalis agama. Kata Wahid Hasyim: “Model Kementerian Agama ini pada hakikatnya adalah jalan tengah antara teori memisahkan agama dari negara dan teori persatuan agama dan negara.”

Pemerintah mengumumkan berdirinya Kementerian Agama setelah disepakati secara aklamasi di KNIP. Haji Mohammad Rasjidi diangkat oleh Presiden Sukarno sebagai Menteri Agama Pertama. H.M. Rasjidi adalah seorang ulama berlatar belakang pendidikan Islam modern dan dikemudian hari dikenal sebagai pemimpin Islam terkemuka dan tokoh Muhammadiyah.

JANGAN AHISTORIS

Apa yang dikatakan oleh Menteri Agama bahwa ia bukan menteri agama Islam dan dia ditugaskan untuk melawan radikalisme membawa luka lama dalam kehidupan umat Islam. Mengatakan bukan menteri agama Islam adalah pernyataan ahistoris. Sebab sejarah mencatat, bahwa aspirasi umat Islam diakomodir dengan terbentuknya kementerian itu.

Ucapan yang bernada tidak mendamaikan seperti itu harusnya tidak boleh ada di lembaga pemerintahan. Kita patut menyatakan, bahwa kementerian itu tidak lagi mengurus umat Islam, sementara uang wakaf, sedekah, dana haji umat Islam dipergunakan oleh pemerintah.

Secara kasarnya umat Islam diperas, tetapi kekayaannya yang disimpan di Kementerian Agama tidak dianggap. Sementara ceramah ustadz dibatasi, mesjidnya diawasi, apakah ini tidak menyusahkan ummat Islam?

Masih pernyataan Menteri Agama, bahwa ia ditugaskan oleh Presiden untuk mengurus radikalisme. Semua kementerian periode kedua ini sepertinya hanya mengurus radikalisme, dan kita menyebutnya kementerian radikalisme. Prof Din Syamsuddin bahkan menyarankan Kementerian Agama diganti namanya menjadi Kementerian Antiradikalisme.

Sebegitu kuatnya radikalisme sehingga mulai dari aparat keamanan seperti Polisi, BIN, BNPT hingga Kementerian Kerja Jokowi Kedua II mengurusinya. Berarti program pemerintah hanya program deradikalisasi saja.

Kembali ke Kementerian Agama, bahwa tugas Menteri Agama itu adalah membangun moral bangsa, membangun moral keagamaan yang memberikan nilai positif dan konstruktif bagi bangsa, menjaga kerukunan, meningkatkan kualitas pendidikan keagamaan, membawa pesan keagamaan di tengah masyarakat. Itu tugas Kementerian Agama. Sementara fungsinya membuat dan menetapkan kebijakan keagamaan, mengelola kekayaan di kementerian, mengawasi pelaksanaan tugas, melaksanakan kegiatan dan bimbingan teknis.

Karena itu kalau tugas Kementerian Agama mengurus radikalisme dan bukan menteri agama Islam, lebih baik Kementerian itu dihilangkan saja. Sebab sejarah kementerian itu merupakan hasil akhir dari kompromi antara golongan nasionalis Islam dengan golongan nasionalisme sekuler.

Terlepas dari semua itu, Menteri Agama ini tidak cocok mengurus kementerian, tetapi diberikan tugas sebagai kepala BNPT, itu lebih menjurus ke pikiran beliau ketimbang mengurus urusan Ummat Islam yang begitu kompleks ini.

 

About Redaksi Thayyibah

Redaktur