Breaking News
Suami-istri sebuah ilustrasi (Foto : Cantika)

Denda Hubungan Badan Saat Puasa

Suami-istri sebuah ilustrasi (Foto : Cantika)

Sewaktu saya kuliah di Islamabad dulu, ada mata kuliah namanya “الفقه الجناءي” (Fiqh Kriminal Islam). Dosennya seorang professor dari Mesir. Beliau adalah Prof. Dr. Abdul Qadir Syahatah. Salah satu bahasan dalam mata kuliah Fiqh Kriminal Islam itu tentang konsep “diyat” (denda) sebagai “Restorative Justice” yang hampir mirip dengan konsep Tort dalam hukum Inggris (Anglo-Saxon Law).

Dalam hukum pidana biasanya setiap pelaku pidana diancam penjara atau hukum mati. Tapi dalam pidana Islam, perbuatan pidana dapat dibayar dengan denda, seperti diyat pada kasus pembunuhan. (Pembahasannya panjang).

Nah, salah satu perbuatan pidana itu adalah hubungan badan di siang hari di bulan Ramadhan. Hukumannya adalah denda dengan pembebasan budak, lalu (jika tak punya budak) puasa dua bulan berturut-turut. Jikapun tak mampu, bersedekah untuk enam puluh fakir miskin.

Saya teringat, ada mahasiswa asal Afghanistan yang tanya, “Prof, bagaimana kalau hubungan badannya dimulai sebelum waktu imsak (waktu halal), tapi baru berakhir setelah adzan shubuh (waktu haram), apakah terkena denda juga?”

Professor menjawab dengan menjelaskan panjang lebar pandangan para ahli fiqh Islam, termasuk kaidah fiqh اخف الضررين (jika dua mudharat bertemu, ambil yang paling ringan mudharatnya). Kira-kira, jika tak dilanjutkan hubungan badannya, lalu jadi sakit, ya lanjutkan saja. Tapi tetap terkena denda.

Rupanya teman saya itu masih kurang puas dengan jawaban beliau, lalu bertanya lagi. Kan sudah masuk ke dalam kaedah اخف الضررين lalu kenapa tetap terkena denda? Akhirnya, saya lihat Professor itu kesal juga, dan bilang (kurang lebih) begini, “Memang pasangan itu dari sore kemana ajah sih, hubungan badannya kok baru dimulai menjelang shubuh. Bikin repot kita ajah”.

Salam, Inayatullah Hasyim (Dosen Universitas Djuanda Bogor)

About Redaksi Thayyibah

Redaktur