Breaking News
(foto : wikimedia)

Fenomane Penjajahan Modern

Oleh : Andri Rosadi

 

(foto : wikimedia)
(foto : wikimedia)

Ada tiga kata ajaib yang diusung oleh modernitas Barat: emansipasi, equality dan freedom. Mengapa kusebut ajaib? Sebab berfungsi sebagai ‘mantra mujarab’ yang bisa menjadikan sesuatu yang tidak mungkin menjadi nyata.

Sebagai contoh, tafsir tradisional perkawinan antara laki-laki dan perempuan dianggap sudah kuno. Agar modern, harus diperluas mencakup same-sex marriage (SSM).

Oz, di tengah pro kontra di masyarakat, baru saja mensahkan UU yang membolehkan SSM, mengikuti jejak Selandia Baru, US dan beberapa negara ‘modern’ lainnya. Signpost jejak itu adalah emansipasi, equality dan freedom. Basis pendukung SSM adalah Partai Liberal, sementara penentangnya didominasi oleh dua golongan: imigran Muslim dan penganut Katolik yang sudah berumur, diantaranya adalah mantan PM, John Howard.

Penolakan Howard cukup dijawab dengan satu kalimat oleh pendukung LGBT: Howard adalah ‘yesterday’s man’.

Ada contrasting: penolak LGBT adalah masa lalu dan tradisional; pendukungnya adalah masa depan, modern. Para penentang SSM, oleh media Oz juga diberi label: ‘not real and proper representation of Australia’, bigot, tidak paham HAM dan social justice. Intinya, definisi perkawinan yang hanya mencakup intersex marriage adalah tradisional, agar modern harus mencakup SSM. Klaim sepihak seperti ini ternyata telah menjadi praktik lumrah dalam iklim demokrasi; ia tidak hanya menjadi milik khas kaum radikal fundamentalis.

Para penentang LGBT adalah mereka yang masih berafiliasi pada nilai-nilai tradisional yang bersumber dari agama.

Di Sydney, basis penentang SSM adalah kawasan Western Sydney yang banyak dihuni oleh kaum immigrant Muslim dan Katolik. Media Oz menyebutnya sebagai ‘Bible and Koran belt’. Pra-referendum, beberapa kali khatib sholat Jumat mengingatkan para pemilih Muslim agar menjawab ‘no’ dalam voting tersebut, sambil mengingatkan bahwa segala sesuatu akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.

Pasangan gay sering menyebut diri mereka ‘two-dads family’ dengan anak adopsi. Perilaku ini, menurut para imam Muslim, seperti Imam Masjid Punchbowl, sangat egois sebab tidak mempertimbangkan masa depan anak adopsi tersebut. Benar, secara ekonomi anak itu tampaknya akan terjamin, tapi bagaimana dengan kebutuhan psikologisnya? Kebutuhannya pada sosok seorang ibu? Sikap para imam Muslim ini kemudian menjadi headline di harian The Telegraph, disertai tuduhan bahwa rigiditas ini bertentangan dengan nilai-nilai multikulturalisme Oz.

Sekulerisme di Barat bukan diawali dengan pemisahan negara dengan agama, tapi dengan runtuhnya konsep society.

Legalisasi SSM adalah penyempurna dari proses sekulerisasi tersebut, sebab refleksi dari runtuhnya konsep tradisional keluarga inti. Semua proses legalisasi ini bisa berjalan smooth, menurut Roy, karena nilai-nilai Kristiani Barat telah mengalami sekulerisasi dengan sempurna.

Bagaimana dengan masyarakat Muslim Indonesia?

Sekulerisasi adalah prasyarat agar nilai-nilai dan perilaku ‘modern’ Barat bisa diterima.

Dalam ungkapan lain, sering dikatakan: agar nilai-nilai Islam kompatibel dengan modernitas. Modernitas Barat adalah ‘model for’ (meminjam istilah Geertz), termasuk bagi Islam Indonesia.

Bagaimana sekulerisme itu masuk? Yang paling terasa namun tidak tampak adalah melalui liberalisme pemikiran yang berpotensi meruntuhkan nilai-nilai tradisional masyarakat Indonesia, terutama yang Muslim. Ketika telah berhasil dikonversi menjadi liberal, pada saat itu, masyarakat Muslim pada hakekatnya telah tercerabut dari agamanya sebagai key-orientating value dan sumber utama spiritualitas.

Selanjutnya, akan berubah peran menjadi satelit budaya Barat yang dengan senang hati mengekor dalam segala segi. Dalam kondisi ini, sikap eklektik dan kritis terhadap Barat tak akan pernah menjadi arus utama dalam masyarakat Muslim, dengan satu alasan: kalangan terdidik Muslim, dengan pengetahuan agama yang mumpuni masih minoritas. Menariknya, dalam kondisi itu, sikap ‘kritis’, atau dalam tataran tertentu, ‘bawel’ terhadap Islam justru menjadi lumrah. Suatu anomaly yang sempurna.

Apa ujung dari sekulerism dan liberalism? Jawabku hanya satu: global capitalism.

Jangan lupa, perkembangan sekulerism dan liberalism di seluruh dunia tidak ada yang berjalan secara ‘natural’; ada sponsor, agen dan agenda yang dirancang dengan sangat baik, yang berfungsi untuk merekayasa proses perubahan social di berbagai negara. Once it is done, capitalism dengan segala perangkat nilainya akan masuk tanpa perlu mengetuk pintu.

Setelah itu, kenyataan sebagai bangsa konsumen dan pengekor harus diterima dengan ikhlas.

Saat itu, ungkapan popular penganut Poskolonial di Afrika akan berlaku di negeri ini: ketika orang kulit putih datang pertama kali ke negeri kita, mereka punya Bible dan kita punya tanah (sumber daya alam). Ketika mereka kembali ke negaranya, mereka membawa SDA dan meninggalkan Bible untuk kita.

Saat itu, baru disadari bahwa para kapitalis ternyata tidak meninggalkan apapun yang bisa dipakai untuk menghapus air mata penyesalan, walau sekedar kain yang buruk.

Entahlah, mungkin aku termasuk ‘yesterday’s man dan terlalu ‘kolot’ untuk memahami modernitas ini!

(Sydney, 22 Desember 2017).

About Redaksi Thayyibah

Redaktur