Breaking News
Gus Dur (Foto : Republika)

Presiden Gus Dur dan “Politik Tionghoa”

 Gus Dur (Foto : Republika)
Gus Dur (Foto : Republika)

Oleh : Abdul Halim

Menjelang Pilgub DKI 2017 serta Pemilu dan Pilpres 2019, beberapa tokoh Tionghoa (baca: etnis Cina di Indonesia) sudah bersiap-siap menduduki kursi DKI-1 dan DKI-2 atau RI-1 dan RI-2. Sebutlah Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) sebagai incumbent siap kembali menguasai DKI Jakarta sebagai Gubernur serta Bos MNC Group Harytanoe Soedibyo siap menduduki kursi Presiden atau Wapres RI.

Ternyata munculnya era Reformasi menjadi berkah tersendiri bagi masyarakat etnis Tionghoa. Kalau semula mereka tabu memasuki dunia politik, sekarang mereka sedang gencar-gencarnya untuk menguasai roda pemerintahan pusat maupun daerah, juga legislatif pusat maupun berbagai daerah di Indonesia melalui partai partai politik sekuler.

Padahal pasca meletusnya G30S/PKI tahun 1965, Pemerintah Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden Suharto sengaja membatasi aktivitas golongan Tionghoa di Indonesia termasuk di bidang politik, pendidikan, sosial dan budaya. Hanya di bidang ekonomi mereka masih diizinkan untuk bergerak, sehingga sekarang mereka menjadi para pegusaha kaya raya.

Pasalnya waktu itu golongan minoritas Tionghoa di Indonesia yang masih berkiblat ke Beijing, dianggap sebagai kolaborator Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dipimpin DN Aidit. Bahkan PM Cina pada era pemerintahan Mao Zhe Dong, Chou En Lai pernah mengusulkan dibentuknya angkatan kelima yang terdiri dari 100.000 buruh dan tani untuk dipersenjatai sebagai tandingan ABRI/TNI.

Pasca G30S/PKI, banyak sekolah Tionghoa yang ditutup pemerintah Orba dan kebudayaan Tionghoa dilarang, sehingga mereka kebingungan akan kemana mensekolahkan anak-anaknya. Kalau mereka mensekolahkan anaknya ke sekolah negeri jelas tidak mungkin, karena sudah dicap sebagai musuh negara. Apalagi di sekolah-sekolah Islam jelas mustahil, karena mereka mayoritas penganut Konghuchu sementara umat Islam menjadi musuh utama PKI. Maka satu-satunya jalan adalah mensekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah Kristen dan Katolik yang mau menerima mereka. Sementara Konghuchu belum diakui sebagai agama resmi negara, sehingga mereka juga kebingungan ketika akan membuat KTP.

Maka sebagai dampaknya, pasca G30S/PKI, ratusan ribu orang Tionghoa berpindah agama dari Khonghuchu ke Kristen dan Katolik, dari pergi ke Klenteng menjadi ke Gereja. Tidak hanya orang Tionghoa, para keluarga pribumi PKI yang kebanyakan Islam abangan juga sama murtad menjadi Kristen dan Katolik, sebab mereka menganggap umat Islam sebagai musuh besar PKI. Sehingga pasca G30S/PKI, jumlah pemeluk Kristen dan Katolik bertambah 2.000.000 orang.

Maka tidaklah mengherankan jika mantan Menkumham Yusril Ihza Mahendra ketika masih bertugas di Sekneg di era pemerintahan Orde Baru pernah bercerita mengani pertemuannya dengan pak Harto: “Pak Harto pernah berkata kepada saya: “Sril, politik anti Cina pada awal Orba itu ternyata keliru ya,” ujar Yusril Ihza Mahendra menirukan ucapan mantan Presiden Suharto. Hal itu disampaikaannya dalam ceramah di Kantor Pusat Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Kramat Raya, Jakarta Pusat belum lama ini.

Menurut Yusril, adapun yang dimaksud pak Harto adalah dengan adanya politik anti Cina pasca Orde Baru, maka sangat menguntungkan golongan Kristen dan Katolik, sehingga sekarang ini 95 persen orang Tionghoa di Indonesia beragama Kristen dan Katolik atau Khonghuchu, padahal sebelumnya mereka mayoritas menjadi penganut Konghuchu. Sementara yang menganut Islam hanya 5 persen saja.

 

“Politik Tionghoa”

 

Mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), memang dikenal sangat lihai dalam strategi politik. Saking pandainya, sampai pak Harto sendiri gagal ketika akan mengesernya dari kursi Ketua Umum PBNU dalam Muktamar NU di Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat tahun 1989 lalu. Memang waktu itu Gus Dur secara diam-diam mendapat dukungan dari mantan Pangab Jenderal TNI LB Moerdani yang baru saja dicopot pak Harto dari jabatannya, namun masih memiliki pengaruh kuat di kalangan ABRI

Dalam menghadapi Kristenisasi yang semakin massif dan berbahaya, Gus Dur yang waktu itu sebagai Presiden RI mengeluarkan jurus politik jitu yang dikenal dengan “politik Tionghoa”, dimana secara mengejutkan Presiden Gus Dur tiba tiba mengakui Khonghuchu sebagai agama resmi negara ke-6 yang diakui di Indonesia selain Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Padahal sesungguhnya di daratan Cina, Konghuchu bukan agama tetapi sebagai aliran Filsafat.Tidak hanya itu, Gus Dur menjadikan Hari Raya Tionghoa, Imlek, sebagai hari libur nasional dan menghidupkan kembali bahasa dan kebudayaan Tionghoa yang sebelumnya dilarang Pemerintah Orde Baru.

Menurut Yusril, ide untuk mensahkan Konghuchu sebagai agama resmi negara itu sebenarnya berasal dari dirinya yang waktu itu menjabat sebagai Menkumham. Kemudian ide itu diteruskan ke Menag KH Tolhah Hasan dan disetujui Presiden Gus Dur. Yusril berharap, orang Tionghoa yang telah memeluk Kristen dan Katolik kembali memeluk Khonghuchu sebagai agama nenek moyangnya di daratan Cina. Akhirnya Presiden Gus Dur setuju karena untuk menghambat Kristenisasi dikalangan orang Tionghoa di Indonesia.

Adapun yang mengherankan adalah, justru waktu itu para tokoh Kristen dan Katolik sama mengecam Presiden Gus Dur karena menjadikan Konghuchu sebagai Agama Resmi Negara, bukan para tokoh umat Islam yang marah-marah, sebab mereka yang merasa paling dirugikan dengan strategi “politik Tionghoa” yang lihai dari Gus Dur tersebut.

Jadi sesungguhnya Presiden Gus Dur berusaha untuk menarik kembali orang-orang Tionghoa yang kebanyakan kaya raya itu meninggalkan Kristen dan Katolik kembali menjadi pemeluk agama Konghuchu. Sebab sudah ratusan tahun mereka tinggal di Nusantara, antara umat Islam dan Konghuchu selalu hidup berdampingan secara damai. Bahkan salah seorang panglima militer paling terkemuka dalam sejarah Cina, Laksamana Cheng Ho, beragama Islam.

Namun sebaliknya, jika orang Tionghoa menjadi penganut Kristen atau Katolik, maka mereka akan berubah menjadi missionaris dan fundamentalis dengan misi Kristenisasi terhadap umat Islam Indonesia, sehingga dikhawatirkan bisa menimbulkan konflik horizontal yang dikhawatirkan akan mengancam keutuhan NKRI.

Apalagi sekarang golongan Tionghoa yang telah menjadi penganut Kristen atau Katolik berhasil menguasai media massa dan ekonomi nasional, dan sekarang mereka terus berusaha untuk menguasai kancah politik nasional, baik melalui Pilkada maupun Pilpres. Inilah yang sangat berbahaya bagi masa depan umat Islam Indonesia yang mayoritas, sementara sekarang saja mereka sudah terzalimi oleh golongan minoritas Kristen dan Katolik yang kebetulan menguasai posisi posisi strategis di Negara ini.[] (Abdul Halim adalah Kontributor Thayyibah.com)

About Redaksi Thayyibah

Redaktur