Breaking News
Poster Solidaritas untuk Salim Kancil dan Menolak Tambang Pasir di Lumajang. (Foto : forumhijau.com.)

Seperti Komunis, Si Kancil Dibantai

Poster Solidaritas untuk Salim Kancil dan Menolak Tambang Pasir di Lumajang. (Foto : forumhijau.com.)
Poster Solidaritas untuk Salim Kancil dan Menolak Tambang Pasir di Lumajang. (Foto : forumhijau.com.)

thayyibah.com :: Mungkin saja sebagian kita tak terpacaya, bahwa tragedi kemanusiaan yang menimpa Salim Kancil (juga Tosan) masih terjadi di era ini, ketika komunikasi begitu mudah dan canggih serta kemampuan aparat penegak hukum bisa menjangkau daerah terpencil sekalipun. Tragedi kemanusiaan berupa pembantaian yang menimpa Salim Kancil dan Tosan di Lumajang ini hanya bisa kita dengar dalam kisah-kisah pembantaian Komunis terhadap ulama atau musuh-musuh mereka. Sungguh sebuah ironi yang terjadi di era ini.

Salim Kancil hanyalah seorang petani desa berusia 52. Di kampungnya di Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, sudah lama berlangsung penambanga pasir illegal atau liar. Penambangan ini sangat berakibat merusak keseimbangan lingkungan dan alam di sana. Selain di Desa Selok Awar-Awar, pada beberapa desa di Lumajang juga berlangusung penambangan pasir illegal ini, seperti di Desa Wotgalih (Kecamatan Yosowilangun), di Desa Pandanarum dan Pandanwangi (Kecamatan Tempeh).

Semua aktivitas penambangan pasir yang mengandung besi ini, memicu konflik masyarakat hingga saat ini. Apalagi ada sebuah perusahaan besar tercatat sebagai salah satu pihak penambang. Tambang-tambang pasir ini sudah diketahui ilegal dan merusak lahan pertanian di pesisir pantai Lumajang. Tapi oleh pemerintah dan aparat setempat hal ini dibiarkan. Tak ada tindakan tegas. Banyak kalangan menuding, aktivitas tambang pasir yang ditolak Salim Kancil dan Tosan ini merupakan “lahan basah” kepala desa beserta aparatnya.

Salim Kancil, Tosan dan beberapa warga akhirnya membentuk dan melakukan aktifitas masyarakat anti tambang dalam sebuah paguyuban bernama Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa. Aktifitas penolakan tambang ini tentu saja mengganggu perusahaan penambang dan mereka yang merenggut keuntungan dari penambangan liar ini. Salim Kancil dan Tosan adalah penghalang, mereka adalah hambatan. Karena itu harus disingkirkan. Sayangnya, cara para pendukung tambang yang dipakai untuk menyingkirkan Salim dan Tosan adalah cara-cara biadab yang meniru cara-cara Komunis.

Dari investigasi yang dilakukan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) Surabaya menyebutkan, peristiwa pembantaian Salim Kancil dan Tosan ini terjadi pada Sabtu (26/9). Saat itu, Salim dan Tosan didatangi dan dikeroyok tak kurang dari 40 orang pro penambangan. Para pembantai ini mendatangi kediamn Tosan terlebih dahalu sekitar pukul 07.00. Tosan dijemput paksa di rumahnya. Tanpa banyak bicara, puluhan orang yang membawa pentungan kayu, celurit dan batu itu mengeroyok Tosan.

Dikeroyok puluhan orang itu, Tosan berusaha menyelamatkan diri dan lari dengan motornya. Sayang, motor Tosan langsung ditabrak. Kemudian Tosan diseret ke lapangan dan dihajar membabi-buta. Tubuhnya juga dilindas beberapa kali dengan motor para pelaku. Akibatnya, Tosan mengalami luka berat. Karena menderita luka-luka berat, Tosan langsung dilarikan ke Puskesmas Pasiran untuk kemudian dirujuk ke RSUD Lumajang dan RS Bhayangkara Lumajang.

Selesai membantai Tosan, gerombolan ini mencari Salim Kancil di rumahnya. Seperti yang dilakukan pada Tosan, kelompok preman ini mengikat Salim dan menyeretnya menuju Balai Desa Selok Awar-Awar, yang berjarak sekitar dua kilometer dari rumah Salim.

Selain diseret, Salim juga dihajar dengan pukulan dan senjata selama perjalanan. Sepanjang perjalanan menuju balai desa, gerombolan ini terus menghajar Salim dengan senjata yang mereka bawa. Ironisnya, penganiayaan ini juga disaksikan warga sekitar, yang ketakutan dengan aksi brutal ini. Sesampai di balai desa, tanpa peduli ada anak-anak yang tengah mengikuti pendidikan pra TK gerombolan ini terus melakukan adegan brutal kepada Salim. Di dalam balai desa, Salim disetrum dengan alat listrik yang sudah disiapkan kelompok tersebut. Meski berada di dalam ruangan balai desa, tak satupun perangkat desa yang keluar menghentikan aksi ‘gila’ tersebut. Ini memperkuat duagaan masyarakat, bahwa kepala desa dan aparatnya terlibat dalam penambangan illegal ini. Salim Kancil-pun tewas dalam aksi tak berperikemanusiaan itu. Salim tewas dalam kondisi telungkup di antara batu dan kayu berserakan di dalam ruangan balai desa.

Setelah peristiwa itu terjadi, setelah Salim Kancil tak bernyawa, baru pihak kepolisian bertindak, memburu para pelaku pembunuhan sadis itu. Dalam hitungan jam, polisi berhasil menggelandang 12 orang.

Sungguh. Salim Si Kancil, petani kecil itu dilindas oleh sebuah persekongkolan yang melibatkan pengusaha, aparat dan bromocorah. Sebuah tragedi kemanusiaan a la Komunis masih berlangsung di negeri ini, hari ini. (Darso Arief/Thayyibah)

About Darso Arief

Lahir di Papela, Pulau Rote, NTT. Alumni Pesantren Attaqwa, Ujungharapan, Bekasi. Karir jurnalistiknya dimulai dari Pos Kota Group dan Majalah Amanah. Tinggal di Bekasi, Jawa Barat.