Breaking News

Surat Cinta Seorang Ayah Kepada Puteranya

Oleh Hamid Basyaib

TAK SENGAJA saya menemukan catatan berikut ini di antara buku-buku lama di rak yang sudah jarang saya kunjungi. Penulis dan targetnya lebih baik tak disebut untuk menjamin universalitas pesannya. Yang penting: suara surat ini jelas, yaitu saran seorang ayah kepada puteranya yang sedang jatuh cinta.

Semangat surat ini mengingatkan kita pada sebuah lagu Cat Stevens (Yusuf Islam), “Father and Son”, tapi dalam versi spesifik — dan tentu lebih mendalam dibanding beberapa bait lirik lagu.

***

Anakku yang baik,

Kini kau 22 tahun, dan ibumu bilang kau sedang jatuh cinta. Saya ingin menawarkan beberapa saran, yang jarang sekali ditawarkan seorang ayah kepada anaknya. Setidaknya, saya tidak pernah mendapatkan saran semacam ini dari ayah saya.

Maka ketika saya di masa sekitar usiamu menghadapi sengatan ini, saya hanya bisa bingung, gamang, bahkan putus asa. Tiada tempat bertanya. Beberapa orang malah meledek dan menertawai saya, seolah jatuh cinta adalah hal yang memalukan atau menggelikan.

Nak, saya tidak ingin kau mengalami kekacauan batin seperti itu — sisa kekacauannya masih terus mengendap di hati saya hingga jauh setelah saya melewati usia 20an.

Hari ini kau mencintai seseorang dengan segenap hati, dan itu bukanlah hal yang memalukan atau menggelikan. Mencintai seseorang justeru adalah hal paling manusiawi sekaligus paling berani yang bisa dilakukan seseorang.

Kau tidak mencintai karena dijanjikan balasan. Kau mencintai karena jiwamu menemukan resonansi — getaran lembut yang mengalir hangat diam-diam, kadang riang menyenangkan, kadang perih menyakitkan, tapi selalu jujur.

Orang menyebut turun-naik perasaan semacam ini “bittersweet”, meski kenyataannya lebih kaya daripada yang bisa ditampung oleh paduan dua kata berlawanan ini.

Apapun yang terjadi, selalulah ingat satu hal:

Cinta tak pernah memaksa, tak menuntut untuk dibalas, karena hakikatnya adalah memberi.

Tapi kau juga berhak atas cinta yang sehat — cinta yang menumbuhkan dan menghidupi, bukan yang menekan dan menguras. Kau berhak atas cinta yang membebaskan, bukan yang membelenggu batinmu dalam ketidakpastian.

Bila hatimu menggelora tapi dia hanya diam, ingatlah bahwa itu bukan kegagalanmu. Itu hanya menunjukkan fakta kehidupan bahwa tidak semua orang akan mencintai dengan nada dan irama yang sama.

Dan tak ada yang salah dengan kenyataan ini. Mungkin hatinya sedang tertutup. Mungkin waktu belum memanggilnya. Atau mungkin memang dia bukan untukmu — betapapun pahitnya, kau harus berani menelan pil ini.

Dan ini bukan berarti kau tidak pantas, tak menarik, tak layak menerima berkah cinta. Ini hanya soal perbedaan pilihan dan sikap. Dia bukanlah dunia, sedangkan dunia punya penilaian sendiri terhadap dirimu.

Dan jangan biarkan cintamu menjadi penjara. Cinta juga perlu bernapas. Dan rawatlah ia seperti taman: beri ia ruang tumbuh, tapi juga kau perlu tahu kapan membiarkan bunga yang tak mekar tetap menjadi benih yang kau titipkan kepada angin.

Lanjutkan hidupmu dengan semangat yang utuh. Jadilah terang di dunia ini — bukan karena ingin dilihat, tapi karena memang itulah dirimu: seseorang yang mampu mencintai tanpa mengingkari kesejatian diri.

Ada yang bilang: cinta adalah kesediaan berkorban. Boleh kau petik sepotong kearifan dari separuh-kebenaran ini. Tapi jangan pernah kau gadaikan prinsip dan martabatmu hanya agar cintamu berbalas.

Kau patut mengkhidmati cinta, tapi jangan pernah membiarkan ia membenamkanmu dan membuat dirimu hilang di dalam pusarannya.

Dan bila suatu saat cinta itu kembali padamu dalam bentuk yang sejati, kau akan tahu: kau telah menanti bukan dengan ketergantungan, tapi dengan kekuatan. Sebab kemampuan mencintai adalah tanda kekuatan, bukan kelemahan.

Cinta, anakku, tak pernah sia-sia. Dalam denyutnya, ia akan menjadikanmu manusia utuh. Di antara detak-detaknya, mudah-mudahan kau lebih mengenal dirimu sendiri.

Semoga perjalanan cintamu penuh warna, penuh makna — setidaknya lebih kaya dibanding yang pernah dialami ayahmu, di masa yang telah begitu lampau tapi juga masih terasa begitu dekat. ***

About Redaksi Thayyibah

Redaktur