Breaking News

Goro-Goro

Oleh : Joko Intarto

Pernahkah Anda menonton pagelaran wayang kulit? Saya sering. Apa yang paling menarik? Menurut saya: Segmen Goro-Goro. Mengapa suka Goro-Goro? Nah, setiap orang punya alasan masing-masing.

Segmen Goro-Goro sebenarnya tidak lama. Biasaya hanya 30 menit. Paling lama satu jam. Goro-Goro ini mengingatkan pengalaman masa remaja ketika menyaksikan film India di bioskop.

Karena durasi film India sekitar 3 jam, pemutaran film selalu berhenti 15 menit pada durasi 90 menit pertama. Penonton boleh keluar dari gedung pertunjukan untuk membeli minum dan makanan kecil lainnya seperti kacang dan kwaci. Setelah itu, masuk lagi untuk melanjutkan menonton kelanjutan filmnya.

Dalam acara seminar, Goro-Goro juga dikenal, dengan nama ice-breaking (5 menit), atau coffee break (pagi) dan tea break (sore) dengan durasi kurang lebih 15 menit. Setelah itu, masuk lagi ke ruang acara untuk melanjutkan agenda berikutnya.

Menurut saya, penemu wayang kulit begitu cerdas dengan menyelipkan segmen Goro-Goro di tengah-tengah pertunjukan. Tidak peduli jalan ceritanya sedang seru-serunya, dalang akan nge-break pertunjukan begitu jarum jam sudah menunjukkan pukul 00:00.

Goro-goro itu tombo (obat) ngantuk. Begitu kata sebagian penggemar wayang. Saya sepakat. Goro-Goro memang ampuh mengusir rasa kantuk karena kemunculan Punakawan Semar, Gareng, Petruk dan Bagong (pengasuh Pandawa). Kadang-kadang ada juga tokoh lain seperti Limbuk dan Togog (pengasuh Kurawa). Sering juga dalam segmen ini ada tokoh kekinian.

Almarhum Ki Enthus, termasuk yang sering menampilkan tokoh baru dalam segmen Goro-Goro. Tokoh itu diciptakan agar jalan ceritanya kontekstual. Beberapa tokoh yang pernah saya lihat dalam pertunjukan Ki Enthus adalah Presiden SBY, Inul Daratista dan Dahlan Iskan.

Dalam segmen Goro-Goro inilah kualitas intelektual seorang dalang dinilai para penonton. Kira-kira mirip debat capres/cawapres yang selalu heboh itulah. Sebab hanya pada segmen inilah dalang bisa bebas berekspresi: Memberi pencerahan, nasihat, sosialisasi program, bahkan kampanye politik (mendukung atau menolak), kepada masyarakat dengan gaya humor yang menggelitik. Biasanya dengan menyindir-nyindir yang bisa bikin kuping panas dan wajah merah padam.

Kelakuan para pejabat yang korupsi bisa menjadi caleg, nepotisme keluarga pejabat agar meloloskan anak pejabat itu dalam pemilu, atau presiden yang rajin bagi-bagi bansos bukan tema yang sulit bagi dalang wayang kulit. Begitu pun konsep hilirisasi ugal-ugalan atau teknologoi pertanian yang bisa menyukap tanaman singkong berbuah jagung akan menjadi santapan empuk para dalang yang dijamin membikin perut mules.

Agar bisa menyampaikan misinya, sang dalang pasti menyusun skenario atau jalan cerita. Sebab, konten pada segmen Goro-Goro ini benar-benar independen, tidak harus ada hubungannya dengan jalan cerita utama. Sabungan tema cerita utama dengan cerita dalam Goro-Goro hanya pada setting lokasi dan tokoh-tokohnya saja.

Sejauh ini, saya belum mendengar adanya pertunjukan wayang kulit yang segmen Goro-Goronya ”dicekal” aparat atau pendukung paslon tertentu karena tidak setuju isi omon-omonnya. Seotoriter-otoriternya Pak Harto dan rezim Orde Baru saja, segmen Goro-Goro tetap ada dalam setiap pagelaran.

Tapi entah setelah para tokoh intelektual dari UGM, UII, Unhas, Unand sudah mengecam praktik pemilu.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur