Mbanyu Mili

Oleh: Joko Intarto

Saya tiba-tiba kangen suasana warung makan Kopi Klothok. Restoran bergaya tradisional Jawa di kaki gunung Merapi. Lima belas Kilometer dari Kota Jogja. Lima jam dari rumah ibu saya di Grobogan.

Mungkin karena kemarin hanya bertemu anak lanang tiga jam saja. Ia memang harus kembali ke Jogja. Mengajar bahasa Inggris siswa-siswi di Spanyol secara daring.

Kangen saya akhirnya terobati di Warung Mbah Sum. Lokasinya di Dusun Nonang, Kelurahan Kranggan Harjo. Biasa disebut Krajan karena dusunnya menjadi lokasi kantor pemerintahan desa.

Sudah tiga tahun warung makan itu beroperasi. Menempati sebuah rumah joglo kayu jati di pinggir sawah. Sama persis dengan Kopi Klothok.

“Saya memang mendapat inspirasi dari Kopi Klothok Jogja,” kata Mbah Zahroh, pemiliknya.

Mengusung konsep warung tradisional dengan kemasan modern, Warung Mbah Sum boleh dibilang sukses. Pengunjungnya tak pernah berhenti. Mbayu mili. Istilah Jawanya.

Walau lokasinya di desa, sebagian besar pengunjungnya berasal dari kota. Kebetulan hanya 5 Km dari Kota Purwodadi. Sepuluh menit perjalanan naik sepeda motor.

Tidak hanya orang biasa yang datang. Para pejabat lokal pun sering ke sini. Termasuk Bupati.

Mbak Zahroh masih famili dekat. Buyutnya bersaudara dengan buyut saya.

(Foto-foto : JTO)

Dulu, saat masih SD, Mbak Zahroh dua tahun di atas saya. Ia satu lifting dengan mbakyu saya yang sekarang tinggal di Pemalang.

Ketika banyak orang desa merantau ke kota besar, Mbak Zahroh tetap di desa. Akhirnya dia temukan peluang di desa: Warung makan yang menjadi kebanggaan.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur