Breaking News

Palacio De Carondelet, Istana Presiden Ecuador Tanpa Pagar

Catatan Asro Kamal Rokan

ISTANA Palacio de Carondelet unik. Jika istana lain berpagar, ada pos jaga dengan petugas bersenjata, dan setiap tamu diperiksa, maka istana Presiden Ecuador ini justeru menyatu dengan kesibukan masyarakat.

Palacio de Carondelet berada di ibukota Ecuador, Quito. Istana ini berlantai tiga. Di lantai bawah, terdapat toko-toko souvenir. Setiap orang bisa menyandarkan tubuhnya di dinding istana. Dua lantai berikutnya merupakan pusat kegiatan Presiden, termasuk menerima tamu negara.

Di depan Palacio de Carondelet terbentang alun-alun yang bernama Plaza de la Independencia. Ini adalah tempat Presiden Ecuador menyambut tamu negara dalam acara resmi. Setelah itu, alun-alun tersebut dapat digunakan masyarakat untuk istrahat. Tanpa sekat, tanpa pagar.

Di toko-toko sekeliling istana dan alun-alun, tersebar cafe, penjual koran, tukang semir sepatu, dan pohon-pohon rindang. Di sisi lain, ada Katedral Metropolitan, Archbishop’s Palace, dan Palace Municipal. Alun-alun ini dikelilingi empat jalan, Calle Venezuela bagian timur, Calle Chile bagian utara, Calle Gabriel García Moreno bagian barat, dan Calle Eugenio Espejo bagian selatan, tempat pejalan kaki.

Di bagian tengah alun-alun –nama lainnya Plaza Grande– terdapat monumen pahlawan kemerdekaan, sekitar delapan meter tingginya, sebagai simbol kebebasan Ecuador dari Spanyol, 1822. Di monumen ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 23 Juni 2012 lalu, meletakkan karangan bunga kehormatan, didampingi Presiden Ecuador saat itu, Rafael Vicente Correa Delgado.

Awalnya, plaza ini dibangun pada 1740 oleh kolonial Spanyol, yang menjajah Ecuador hampir 300 tahun, sejak 1563 hingga 1822. Ketika Baron Francisco Luis Héctor de Carondelet sebagai Presiden pada 1799, plaza ini direnovasi, termasuk Katedral dan istana. Carondelet menyewa arsitek Spanyol, Antonio Garcia untuk memperbaharui Istana, dan selesai pada 1803.

Simón Bolívar (1783-1830), panglima militer pejuang kemerdekaan Amerika Selatan dari Spanyol — membebaskan Ecuador, Venezuela, Panama, Kolombia, dan Bolivia — pernah tinggal di istana Palacio de Carondelet. Simon Bolivar juga yang memberi nama istana bergaya barock ini, Palacio de Carondelet, mengambil nama Baron Francisco Luis Héctor de Carondelet, yang merestorasi istana ini.

(Foto-foto : Koleksi Asro Kamal Rokan)

Istana ini selain tempat kerja presiden, juga merangkap rumahnya di lantai tiga. Sejumlah presiden, telah merenovasi istana ini tanpa menghiangkan bentuk aslinya. Namun, berbagai peninggalan sejarah yang disimpan di istana ini, banyak yang hilang.

Saat Rafael Correa menjadi presiden pada 2007, Palacio de Carondelet dibuka untuk umum dan dijadikan museum. Rakyat dapat melihat interior, dekorasi, dan berbagai hadiah yang diberikan kepada presiden selama bertahun-tahun.

Sejarah Panjang

Ecuador terletak di Amerika Selatan. Negara penghasil minyak ini berbatasan dengan Kolombia, Peru, dan Samudera Pasifik. Negara dengan luas 272.045 km² ini, terletak tepat di katulistiwa, sehingga dinamai Ecuador (bahasa Spanyol berarti katulistiwa).

Spanyol masuk ke kawasan ini, awalnya melalui perdagangan hasil pertanian. Rakyat dipaksa kerja rodi di tanah-tanah milik orang Spanyol. Konflik-konflik yang terjadi, mengundang militer Spanyol menguasai Ecuador, yang merupakan bagian Kekaisaran Inka. Ecuador takluk pada Spanyol, 1563.

Perlawanan rakyat terus berlangsung. Pada 24 Mei 1822, pasukan Spanyol dikalahkan dalam Pertempuran Pichincha. Ecuador dan sejumlah negara sekitarnya, berhasil merdeka. Simon Bolivar, yang memimpin perlawanan, kemudian membentuk negara besar Kolombia (Gran Colombia), yang terdiri dari Ecuador, Venezuela, Panama, Kolombia, dan Bolivia. Namun, negara federasi ini pecah. Ecuador membentuk pemerintah sendiri pada 1830.

Saat ini penduduk Ecuador sekitar 16,5 juta, mayoritas beretnis Mestizo, campuran Indian-Eropa. Sebanyak 74% penduduk memeluk agama Katolik Roma, sekitar 0,13 persen. Islam dibawa mahasiswa-mahasiswa Ecuador yang sekolah di luar negeri.

Tertinggi di Dunia

Saya berada di negara ini meliput kujungan kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Quito, Jumat (22/6/2012) siang. Ini merupakan kunjungan pertama Presiden RI di Ecuador, membalas kunjungan Presiden Ecuador, Rafael Correa di Jakarta, pada 2007. Hubungan diplomatik kedua negara dibuka pada 29 April 1980.

Di Quito, selain bertemu dan membahas kerja sama ekonomi dengan Presiden Carrea di Palacio de Carondelet, Presiden SBY juga diberi gelar warga kehormatan, kunci kota, dan pin burung perak simbol Kota Quito oleh Wali Kota, Augusto Barrera di Muse de la Ciudad.

Udara dingin, sekitar 15,6 Celcius relatif konstan karena Quito berada di lembah bagian barat Pichincha, sebuah gunung berapi aktif di Pegunungan Andes. Beberapa gunung sekitar Quito bahkan tertutup salju. Ibu kota Ecuador ini berada di ketinggian 2.850 meter — kota tertinggi tertinggi kedua di dunia setelah La Paz di Bolivia.

Menyusuri kota ini dari hotel Swissotel di Av 12 de Octubre 1820 Luis Cordero, sedikit di luar kota Quito, gunung-gunung terlihat semacam mendindingi kota ini. Masuk ke kota, bangunan bergaya Spanyol di kiri-kanan jalan. Jalan-jalan pun sempit.

Di bagian kota ada beberapa taman, di antaranya Parque Metropolitano dan Parque Carolina, yang nyaman. Namun, yang banyak dikunjungi, tetaplah taman di Plaza de la Independencia, di depan istana Palacio de Carondelet — tidak ada pagar membatasi rakyat dengan istana. Pedagang, penyemir sepatu, turis, bisa lalu-lalang dan menyentuh dinding istana.

Presiden Correa– ekonom tamatan Universitas Illinois, AS — dikenal dekat dengan rakyat, memperjuangkan pengurangan kemiskinan dan kedaulatan ekonomi. Correa bersikap keras terhadap perjanjian perdagangan bebas dengan Amerika Serikat dan menolak nasihat Dana Moneter Internasional. Pada 2012, Correa sedang berjuang meraih periode kedua jabatannya.

Correa menolak neoliberalisme pemerintahan sebelumnya, yang menjadikan negara ini termiskin di Amerika Selatan. Berbagai reformasi dilakukan. Ekonomi tumbuh 4% di saat krisis ekonomi. Pertumbuhan itu terbaik di kawasan ini. Rakyat miskin menyukainya. Correa membebaskan biaya kesehatan dan pendidikan hingga universitas.

Dalam berbagai kesempatan, Correa mengatakan, “Saya mendukung masyarakat dengan keberadaan pasar, bukan sebuah masyarakat pasar.”

Rakyat mencintai Correa, presiden yang berpihak ke mereka. Ketika kami di sana, jalan masuk istana sangat ramai. Bahkan, terpaksa berdesak-desakan dan dibantu beberapa petugas untuk mencapai tangga ke lantai dua istana.

Inilah istana yang tidak menakutkan. Presiden Refael Correa tidak takut pada rakyatnya. Rakyat mencintainya, karena perbaikan hidup mereka diperjuangkan. Mereka nyaman bersama presidennya.

Refael Correa berkuasa sepuluh tahun, (2007-20170. Wakilnya, Lenin Moreno menggantikan posisinya sejak 2017 hingga Mei 2021. Saat ini, Ecuador dipimpin Guillermo Alberto Santiago Lasso Mendoza, yang dikenal sebagai pebisnis, bankir, penulis, dan politisi. Mendoza, presiden pertama berhaluan tengah-kanan.

(Dari buku Granada Menangislah ….)

About Redaksi Thayyibah

Redaktur