Breaking News

Sinjay KW

Oleh: Joko Intarto

Akhirnya saya bisa menikmati makan siang di Restoran Bebek Sinjay yang terbaru. Dari jembatan Suramadu, restoran itu ada di jalan yang menuju kota Bangkalan. Berjarak 3 Km dari restoran lama yang berada di jalan menuju Sampang.

Restoran itu sungguh besar. Bagus pula. Mungkin merupakan restoran terbesar di Madura. Bangunannya dua lantai. Tapi yang sudah beroperasi baru lantai satu. Lantai dua sepertinya belum selesai interiornya. Kapasitasnya sekitar 250 orang.

Sepotong bebek muda yang digoreng ditambah layanan, sambal mencit alias mangga, sepotong tempe dan sepotong tahu ditambah segelas es cincau dijual satu paket seharga Rp 30 ribu.

Harga menu Bebek Sinjay sebenarnya tidak jauh berbeda harganya kalau dibandingkan dengan restoran bebek di Jakarta. Tapi soal rasa, bedanya jauuuuh….

Bebek Sinjay selalu menggunakan bebek muda yang dagingnya empuk dan gurih. Sementara restoran bebek di Jakarta banyak yang menggunakan bebek afkir atau bebek tua.

Kehadiran Restoran Bebek Sinjay yang besar itu memang membanggakan. Saya wajib belajar dari pemiliknya.

Saya ingat 9 tahun lalu pemilik restoran masih mudah ditemui. Ia menceritakan bahwa restoran itu dibangun dari usaha kecil-kecilan dengan modal dari Pegadain sebesar Rp 500 ribu.

Perjalanan bisnis Bebek Sinjay itu   saya jadikan salah satu isi buku “Semua Orang Bisa Sukses” jilid II. Buku itu menyajikan kisah jatuh bangunnya para nasabah Pegadaian dalam bisnis masing-masing.

(Foto-foto : Dok. JTO)

Sukses Restoran Bebek Sinjay ternyata menginspirasi pengusaha lain untuk mendirikan restoran serupa di Madura. Harga menunya rata-rata Rp 12 ribu per porsi. Isi paketnya sepotong daging bebek ditambah sambal mencit dan sambal khas (entah apa bahannya). Kalau dengan nasi putih harganya jadi Rp 13 ribu. Kalau ditambah teh manis menjadi Rp 15 ribu.

Karena penasaran, saya pun mampir ke restoran bebek yang murah meriah itu. Ternyata rasanya tidak kalah lezat. Entah karena bumbunya yang mirip Bebek Sinjay atau karena harga yang berbeda setengahnya.

Setelah makan siang, saya melanjutkan perjalanan menuju rumah Mbak Wati dan Mbak Ratna, dua mbakyu saya yang tinggal di Pamekasan.

Banyak yang sudah berubah di Madura. Kecuali yqng satu ini: Aksi pengumpulan sumbangan di jalan-jalan.

Lebih dari dua puluh grup pengumpul sumbangan beraksi dari Bangkalan hingga Pamekasan. Satu grup dengan grup lain ada yang jaraknya berdekatan. Hanya beberapa ratus meter saja.

Entah sudah berapa tahun kegiatan itu menjadi pemandangan biasa di jalan-jalan utama di Madura. Mulai Bangkalan hingga Pamekasan. Aparat pemerintah setempat sepertinya anteng-anteng saja.

Padahal kegiatan mereka di jalan-jalan itu mengganggu kelancaran lalu lintas. Dengan jalanan yang rata-rata sempit, kehadiran mereka membuat semua pengemudi mobil harus ekstra hati-hati.

Apalagi kalau orang-orangnya agresif. Tidak sekedar mengacungkan jala untuk menampung uang tunai yang dilempar dari dalam mobil.

Meski aksi pengumpulan sedekah di jalanan begitu marak, saya belum mendengar ada panitia yang digugat ke pengadilan atau dilaporkan polisi.

Mungkin karena objek sedekahnya jelas: pembangunan masjid. Bukan hotel atau apartemen.

Masjid bukan entitas bisnis. Tidak ada orang yang menjadi miliarder gara-gara menjadi pengurus masjid. Masyarakat tidak keberatan bersedekah membangun masjid. Para pengumpul dana di jalanan itu bukan pemilik masjid.

Beda dengan hotel dan apartemen, entitas bisnis yang dikelola lembaga bisnis. Yang bisa di-IPO-kan di pasar uang.

Masyarakat keberatan bersedekah untuk membangun apartemen dan hotel. Apalagi kalau hotel dan apartemen itu ternyata miliknya sendiri.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur