Breaking News

Malam Barokah

Oleh: Setiardi

Saya sampai Menara Kudus, berniat silaturahim dengan Mbah Sunan Kudus, jam 10.30 malam. Pintu makam [ternyata] sudah ditutup. Ratusan peziarah hanya diperbolehkan di luar pagar makam. Mereka tetap khusyuk berzikr.

Saya tanya seorang penjaga, apakah bisa masuk? “Makam sudah tutup. Baru buka setelah salat subuh,” ujar penjaga. Tapi ada Pak Kuncen, yang memandangi saya. Dari kepala sampai kaki. Sepertinya hati Pak Kuncen terbuka. Saya dipandu masuk ke ‘rumah’ Sunan Kudus. Saya sendiri. Pak Kuncen menunggu, duduk di belakang saya.

Suasana hening. Usai uluk salam perpisahan, Pak Kuncen berkenan memotret saya di dalam Pesarean Mbah Sunan Kudus. Alhamdulilah. Saya diantar keluar. Diberi sangu air. Dua botol.

Di halaman Menara Kudus saya berjumpa Mbah Pairin, 70 tahun. Musafir yang sejak 1997 berjalan kaki di seantero Nusantara. Dari Meulaboh, Aceh hingga Jayawijaya, Papua. Berjalan kaki. Saya ajak Mbah Pairin makan di angkringan. Beliau berbagi kisah. Saya tanya rahasia kuat dan tak pernah sakit. “Resepnya cuma selalu menjaga wudhu. Jika batal, wudhu lagi. Jika tak mendapat air, bisa tayamum,” ujar Mbah Pairin.

Saya dan Mbah Pairin (Foto-foto : Dok. Pribadi)

Kami berbicang sekitar satu jam. Sebelum berpisah, Beliau memberikan sesuatu. Saya diminta memakainya. Saya terima dengan riang.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur