Breaking News
(Foto : Istimewa)

 Mentertawakan Diri Sendiri

Oleh: Davy Byanca

(Foto : Istimewa)

Seorang manajer Sumber Daya Manusia sebuah BUMN bertanya saat aku mempresentasikan pelatihan the Living Smart, “Maaf bang, apa kira-kira manfaat yang kami peroleh jika kami mengikuti pelatihan abang?” Spontan kujawab, “Manfaatnya? Kita semua akan mentertawakan diri kita sendiri, termasuk abang sendiri yang memberikan pelatihan kepada peserta!”

Sejenak dia kaget, “maksudnya bang?” “Bukankah kita hampir tak pernah mentertawakan diri kita sendiri, padahal jika melihat sesuatu yang lucu atau kebodohan di sekitar kita, kita terbahak bahkan tersenyum kecil. Nah, filsosofi pelatihan ini akan mengajak kita untuk mentertawakan diri kita sendiri, sederhana kan?” saya balik bertanya. Jawaban nyeleneh ini sering kusampaikan jika mendapatkan pertanyaan klasik seperti itu. Resikonya, ada yang tertarik, dan ada yang mengabaikannya.

Di sekitar kita, banyak yang tak sadar bahwa dirinya kerap melakukan kebodohan, tapi malah cenderung menyalahkan lingkungan atau orang lain. Kita berlomba menambah “garam” untuk diri kita, tapi tak pernah tahu apa itu rasa asin. Kita membaca buku, tapi tak pernah menerapkannya. Kita menghadiri pelatihan, tapi tak pernah menjalankan metode-metode yang diberikan. Kita membaca al-Qur’an, tapi tak pernah mengamalkannya. Kita melakukan shalat, tapi pikiran dan hati kita kemana-mana. Lalu, mengapa kita masih berharap akan adanya keajaiban dalam hidup ini?

Kita sibuk menambah dan menambah ilmu, tapi lupa memperbaiki sikap dan karakter. Jika gagal, tak segan menyalahkan pihak lain. Padahal sikap menyalahkan orang lain bukan saja tidak membantu, melainkan juga akan menyimpangkan kita dari sebuah tujuan. Setiap kali kita menyalahkan orang lain sebagai penyebab kemalangan, saat itu pula kita semakin meneguhkan keyakinan bahwa hidup kita dikendalikan oleh orang lain. Semakin sering kita menyalahkan, semakin kuat keyakinan itu berakar dalam diri kita. Pada gilirannya, keyakinan bodoh itu pula lah yang akan menjerumuskan kita ke dalam situasi yang akan memojokkan diri kita.

Seorang teman berkata, “Tahu ndak bang, hubungan kita dengan Tuhan itu bisa diibaratkan dengan seutas tali?” “Oh ya?” tukas saya ingin tahu. “Setiap kali kita berpikir tentang Tuhan dan menyeru-Nya dengan tulus, sesungguhnya kita sedang menambah kuat tali itu bang. Lalu, menjadikan shalat sebagai kebiasaan yang teratur misalnya, akan membuat tali hubungan kita dengan Allah semakin kuat. Tapi, jika untuk jangka yang cukup lama kita tak pernah mengingat Allah, maka untaian tali itu akan terurai, satu demi satu, dan kita tak akan melihat lagi tali hubungan kita dengan Allah,” lanjutnya.

Diam-diam aku setuju dengan pendapat teman ini. Setelah itu aku merenung, “Mengapa banyak orang yang rajin merawat tubuhnya dengan berbagai suplemen dan wewangian, dengan menguatkan otot dan mempercantik body di pusat kebugaran, tapi jarang yang dengan penuh kasih sayang merawat dan membasuh tali hubungannya dengan Tuhan?”

Kejadian itu bisa saja menimpa diriku atau Anda. Jika itu terjadi pada diri kita, saatnya untuk mentertawai diri kita …!

 

 

About Redaksi Thayyibah

Redaktur