Breaking News
(Foto : Tenor)

Omdo

Oleh: Joko Intarto

(Foto : Tenor)

Suatu ketika saya didamprat Pak Dahlan Iskan. “Wartawan apa Anda ini? Bikin berita isinya sampah,” katanya.

Peristiwa itu terjadi sudah sangat lama. Tahun 1991. Sudah 30 tahun. Tapi masih tetap saya ingat dengan baik.

Saat itu saya ditugasi meliput kegiatan Walikota Surabaya, Poernomosudi, meninjau lokasi incenerator yang bermasalah. Pada sesi jumpa pers, Walikota mengatakan, “Masalah incenerator akan diproses sesuai aturan hukum yang berlaku.”

Kalimat itulah yang saya kutip. Saya jadikan statement Walikota terhadap sengkarut unit pengolahan sampah yang sarat dengan bau korupsi saat itu.

Saya yang menulis berita. Pak Dahlan yang mengedit. Ia pun marah besar membaca statement tersebut.

“Tindakan hukum apa yang akan diambil Walikota?”

“E…”

“Peraturan yang mana yang akan digunakan Walikota?”

“E…”

Sungguh. Saya gelagapan menjawabnya.

“Saya tidak menanyakannya,” jawab saya.

“Beginikah kualitas wartawan Jawa Pos?”  tanya Pak Dahlan dengan nada tinggi.

Sejurus kemudian, Pak Dahlan mencabut disket saya dari komputernya. Diremas-remasnya disket itu lalu dibuangnya ke tempat sampah.

“Berita tadi disitu tempatnya. Bukan di koran,” ujarnya.

Sebagai wartawan baru saya bingung harus ersikap bagaimana. Saya lirik kiri dan kanan. Seorang wartawan senior menggerakkan kepalanya. Memberi kode untuk menjauh dari meja redaksi. Saya pun mundur pelan-pelan.

Lewat tengah malam. Saya masih nongkrong di teras kantor. Bel mesin cetak sudah berbunyi. Tak lama lagi koran mulai dicetak.

“Lho Anda belum pulang?” tanya Pak Dahlan yang entah muncul dari mana, tiba-tiba sudah berdiri di belakang saya.

“Anda tadi meliput acara Walikota?” tanya Pak Dahlan sembari duduk di samping saya.

“Ya Pak Boss,” jawab saya.

“Berita tadi sebenarnya bagus. Sayang sekali Anda tidak bisa menyajikan data langkah konkret Walikota selanjutnya,” kata Pak Dahlan.

“Ya Pak Boss. Saya tidak menanyakan langkah hukum yang akan diambil apa,” jawab saya.

“Padahal itu yang ditunggu pembaca. Ada gosip korupsi di sana. Apa benar? Walikota mau ngapain? Lapor polisi? Lapor kejaksaan? Menurunkan inspektorat? Gelar perkara? Itu yang ditunggu-tunggu. Konkret,” lanjut Pak Dahlan.

“Benar Pak Boss. Itu salah saya,” jawab saya.

“Kasus incenerator itu sudah lama. Sudah dimuat berulang kali. Wartawan harus bisa menyajikan data baru yang lebih maju. Yang konkret. Semua pejabat selalu bilang akan mengambil tindakan sesuai hukum yang berlaku. Tindakannya apa tidak pernah jelas. Karena aturan hukum yang mana  yang akan dipakai juga tidak jelas,” papar Pak Dahlan.

Pengalaman30 tahun lalu itu seperti terulang kembali saat membaca pernyataan para pejabat pemerintah akhir-akhir ini. Wakil Presiden membuat statement, “Saatnya kita hijrah tidak bergantung pada produk impor.”

Kalimat itu sungguh menarik. Nasionalis banget. Pertanyaannya, caranya bagaimana? Konkretnya seperti apa? Sama sekali tidak jelas.

Mungkin ada yang tidak sependapat. Wakil Presiden kok ditanya langkah konkret. Itu kan tugas menteri?

Baiklah. Kita tunggu langkah konkret dari para menteri. Semoga wartawan tidak menulis statement menteri seperti ini: “Kita harus hijrah dari ketergantungan pada produk impor sesuai petunjuk Wakil Presiden.”

About Redaksi Thayyibah

Redaktur