Breaking News
Aini Mumtahanah

Aini Mumtahanah, Hafidzah yang Menyesal Dimanfaatkan Yusuf Mansur

Aini Mumtahanah

Sudah bukan rahasia, Yusuf Mansur telah memperdaya Tenaga Kerja Wanita (TKW) kita di Hong Kong sejak tahun 2014 lalu. Terhadap pekerja yang sedang mencari keberuntungan di bekas koloni Inggris itu, Yusuf Mansur meraup banyak uang. Sedekah, jualan buku, Paytren dan aneka investasi. Kini, sebagian TKW itu berencana membawa Yusuf Mansur ke dalam masalah hukum.

Selain TKW, Yusuf Mansur juga ternyata telah memperdaya seorang hafidzah (penghafal Qur’an wanita) asal Grobongan, Jawa Tengah. Aini Mumtahanah (23) demikian nama hafidzah itu. Di rumahnya di Ketro, Karangrayung, Grobogan, Aini Mumtahanah yang biasa disapa Ana ini menerima penulis. Dengan  ditemani suaminya, Ali, lepas maghrib Ahad (13/6) Ana bertutur tentang pengalamannya bekerja bersama Yusuf Mansur.

Pengalaman kerjasama Yusuf Mansur itu terjadi di Hong Kong dan di Semarang pada tahun 2014. Ana yang sudah menjadi hafidzah pada usia 16 ini mengisi pengajian pada kelompok-kelompok TKW di berbagai tempat di Hong Kong.

Sambil mengajar membaca Qur’an, Ana ditugaskan Yusuf Mansur untuk mempromosikan dan mengajak TKW gabung dengan Paytren. Ana juga diharuskan membujuk jamaah agar bersedekah untuk pesantren Darul Qur’an (Daqu) Yusuf Mansur. Kewajiban Ana lainnya adalah menjual buku-buku Yusuf Mansur dan Qur’an dari terbitan Daqu. Dalam koper besar, Ana memboyong buku-buku jualan itu sendiri. Berpindah-pindah tempat pengajian seantero Hong Kong.

***

Dalam usia yang terbilang belia, 15 tahun, Ana yang langsung dibimbing abah (bapak)nya, sudah menjadi seorang hafidzah. Ia hafal Qur’an 30 Juz. Setelah menamatkan pesantren tahfidz Rhoudlatul Huffadh Karangrayung yang didirikan dan diasuh oleh abahnya, Ana pindah ke Semarang menjadi mahasiswa di Universitas Wahid Hasyim.

Masih di semester awal, dalam tahun 2014, Ana mendapatkan tawaran dari Ustadz Budi, orang yang dikenal sebagai pimpinan Rumah Tahfidz Daqu di Semarang. Budi meminta Ana bergabung bersama Yusuf Mansur dalam program Hong Kong Menghafal. Ana diminta menjadi guru mengaji dan membimbing TKW menghafal Qur’an.

Tiket pergi pulang Semarang, Jakarta, Hong Kong serta akomodasi selama tiga bulan di Hong Kong ditanggung oleh Ibu Bertha yang juga TKW di sana. Setelah mendapat izin dari orang tua, Ana beranikan diri berangkat sendiri.

Saat penerbangan Jakarta-Hong Kong inilah pertama kali Ana bertemu Yusuf Mansur. Teringat Ana, waktu itu Yusuf Mansur berangkat bersama istri dan anaknya. Dalam rombongan Yusuf Mansur ada Anwar Sani, Direktur Paytren Hary Prabowo dan istrinya. Di sini Ana tau, istri Hary Prabowo tampaknya adalah warga keturunan dan tidak berhijab. Dalam penerbangan ini, Ana duduk di kelas ekonomi sedangkan Yusuf Mansur dan keluarga duduk di kelas bisnis.

Aini, suami dengan penulis (Foto-foto : Depri)

Sesampai di Hong Kong barulah Ana tau, bahwa perjalanan Yusuf Mansur dan rombongannya juga  dibiayai oleh TKW Hong Kong sama seperti dirinya. Di sana Ana saksikan Yusuf Mansur berceramah di hadapan jamaah TKW yang banyak sekali. Ana juga saksikan, Yusuf Mansur meminta sedekah dan menjual berbagai investasi. “Pokoknya sedekah, sedekah dan sedekah,” begitu kenang Ana tentang ceramah Yusuf Mansur.

Di Hong Kong Yusuf Mansur berceramah di berbagai tempat di hadapan TKW. Anehnya, menurut Ana, setiap ada acara itu jamaah yang datang diwajibkan membeli tiket masuk seperti menyaksikan pertunjukkan. Jamaah TKW yang datang membludak. Uang yang dikumpulkan Yusuf Mansur, menurut Ana, banyak sekali. “Ya, uang sedekah, ya uang investasi dan uang jualan buku,”  begitu Ana.

Setelah Yusuf Mansur dan rombongan kembali ke tana air, Ana berkeliling Hong Kong bersama Ibu Bertha mengajar mengaji para TKW. Bagi yang menghafal, mereka menyetor hafalan kepada Ana.

Sebelum pulang, Yusuf Mansur lewat Asrul Sani berpesan kepada Ana,  agar setiap kali mengisi pengajian harus mempromosikan dan mengajak TKW gabung dengan Paytren. Ana dibekali buku tentang Paytren. “Padahal saya tidak tau menahu soal Paytren dan saya tidak pernah ikut Paytren,” keluh Ana.

Selain Paytren, Ana juga diminta untuk sampaikan macam-macam program sedekah Yusuf Mansur, sekaligus meminta sedekahnya. Satu yang Ana ingat adalah sedekah Orang Tua Asuh bagi santri Daqu. Banyak TKW yang kemudian ikut program ini dengan bersedekah 300 hingga 600 ribu per bulan. TKW banyak yang tertarik program ini karena diimingi Yusuf Mansur mondok gratis di Daqu bagi anak atau keluarga TKW yang bersedekah tiap bulan itu.

Bukan hanya itu, Ana juga dibebani menjual buku-buku Yusuf Mansur dan Alqur’an terbitan Daqu. “Jadi, selama saya ngajar ngaji saya juga jualan buku Yusuf Mansur dan Qur’an itu,” akui Ana. Teringat Ana, dia pernah mentransfer uang kepada Yusuf Masur sebanyak Rp85 juta dari jualan buku ini. Harga buku dan Qur’an itu terbilang mahal, 80 dollar Hong Kong.

***

Tiga bulan berlalu sudah. Tiba waktu Ana pulang ke tanah air. Dari Hong Kong Ana bermalam di Jakarta untuk terbang ke Semarang esok harinya. Saat hendak terbang ke Semarang itu, Ana didatangi oleh satu orang suruhan Yusuf Mansur bernama Mohammad Nasruddin alias Monas. Ana diminta menandatangani kwitansi dengan nilai tertera Rp10 juta. Menurut Monas, itu uang dari Daqu sebagai ucapan terimakasih. Namun yang diserahkan Monas hanya Rp7 juta setelah dikurangi biaya bermalam di Jakarta dan tiket pesawat ke Semarang.

Ana merasa heran, karena yang dia tau semua perjalan dan akomodasi dia sudah dibiayai oleh Ibu Bertha. Namun karena terburu-buru masuk pesawat Ana menandatangani saja kwitansi dan menerima uangnya.

Sesampai di Grobongan, Monas menelpon Ana meminta kembalikan uang Rp5 juta lagi. Sedangkan semua uang yang dibawanya dari Jakarta itu sudah diserahkan ke orangtuanya. Tak mungkin Ana memintanya kembali.

Beberapa hari kemudian Ana kembali ke Semarang meneruskan kuliahnya yang tertunda tiga bulan. Monas juga tak henti menelpon dan mengirim SMS kepada Ana terus meminta uang yang Rp5 juta itu. Gadis belia yang tinggal sendiri di Semarang ini merasa tidak nyaman, terganggu dan terancam dengan cara Monas itu.

Akhirnya, walau tak meminta persetujuan orangtuanya, Ana transfer uang itu ke Monas. Beruntung dalam rekening Ana masih tersimpan uang. “Uang itu berasal dari honor saya dari setiap isi pengajian di Hong Kong. Ada teman TKW yang rela mengurus dan mentransfer honor itu ke rekening saya,” jelas Ana.

***

Beberapa bulan setelah itu, tak disangka Ana, Ustadz Budi datang kembali. Kali ini dia meminta Ana untuk mengelola Rumah Tahfidz Daqu, masih di Semarang. Rumah tahfidz itu ternyata sebuah rumah kosong pada sebuah SD swasta tepat di belakang Mapolda Jawa Tengah.  Di situ sudah terpasang papan nama Rumah Tahfidz Daqu.

Agar mau mengelola rumah tahfidz itu Ana dijanjikan diberi uang honor setiap bulan yang lumayan besar. Ana juga dijanjikan aka dicarikan murid-murid dan biaya hidup mereka agar mau tinggal bersama Ana di rumah tahfidz itu.

Namun kenyataan yang dialami Ana lain. Dia sendiri yang membersihkan rumah kosong itu. Dia tinggal sendiri di rumah itu dengan menanggung sendri biaya perawatan rumah dan biaya hidup dirinya. Selama enam bulan Ana menempati rumah itu tanpa ada seorang murid, tanpa ada perhatian apapun dari Yusuf Mansur. Akhirya Ana angkat kaki dari rumah kosong itu. Meninggalkan rumah itu dengan papan nama tanpa isi, kembali ke tempat tinggal sebelumnya.

Rupanya, Yusuf Mansur tidak berhenti “mengganggu” Ana. Pesantren khusus tahfidz milik abahnya di Karanggayung itu, pernah juga diminta Yusuf Mansur untuk menjadi bagian dari rumah tahfidz Daqu. Caranya, abah Ana cukup memasang papan nama Daqu di depan pesantrennnya. “Biar satu yayasan dengan Daqu,” begitu keinginan Yusuf Mansur kepada Ana.

Tetapi setelah rencana ini disampaikan kepada abahnya, justru abahnya marah-marah. “Enaknya saja. Yang bangun siapa, yang kelola siapa, tapi yang punya nama Daqu dan Yusuf Mansur..!” Ana meniru ucapan abahnya.

***

Kini Ana mengaku kapok bekerjasama denga Yusuf Mansur. “Saya sudah tau bagaimana Yusuf Mansur. Saya memilih merawat dan membesarkan pondokan milik abah saya saja. Yang ikhlas, tanpa memungut biaya apa-apa dari para santri,” begitu tekad Ana bersemangat.

Bahkan, setelah tau investasi dan sedekah yang dikumpulkan Yusuf Mansur dari para TKW itu ternyata  bohong semata, Ana merasa ikut bersalah. DIa merasa ikut menyumbang kebohongan itu. Ana merasa ikut bersalah terhadap para TKW.

Ana merasa sedih dan kecewa. “Karena mereka (TKW) di sana (Hong Kong) itu bekerja menjadi pembantu,” ujar Ana dengan memelas. Mereka bekerja penuh dengan tekanan. Bahkan hak-hak pribadi dan agama mereka kadang dilanggar. Tapi Yusuf Mansur masih tega memperdaya mereka.

Karena itu, Ana berpesan kepada para TKW, kalau bisa hak-hak mereka terhadap Yusuf Mansur itu dimintakan kembali. “Diperjuangkan. Walaupun banyak menyita waktu, tenaga dan uang,” pungkas Ana.

 

About Darso Arief

Lahir di Papela, Pulau Rote, NTT. Alumni Pesantren Attaqwa, Ujungharapan, Bekasi. Karir jurnalistiknya dimulai dari Pos Kota Group dan Majalah Amanah. Tinggal di Bekasi, Jawa Barat.