Breaking News
Kami membela terus Ustadzah Kingkin Anida (Foto : Koleksi Satria Hadi Lubis)

Membela Ustadzah Kingkin Anida

Oleh: Satria Hadi Lubis

Kami membela terus Ustadzah Kingkin Anida (Foto : Koleksi Satria Hadi Lubis)

Mungkin ada sebagian teman-teman yang bertanya mengapa saya lebih banyak menggunakan diksi “Ustadzah Kingkin Anida” dibanding diksi “istri saya” atau “Bu Kingkin” di dalam tulisan saya tentang beliau yang saat ini sedang di penjara?

Hal itu disebabkan keyakinan saya bahwa saya bukan “sekedar” membela atau membantu istri sebagai kewajiban seorang suami, tapi –yang lebih esensial lagi– saya sedang membela seorang ustadzah yang dizalimi.

Sudah menjadi kewajiban kita sebagai muslim untuk membantu dan membela para ulama, ustadz dan ustadzah kita yang mengalami kesulitan di jalan Allah.

Merekalah para pewaris nabi. Merekalah yang menjaga ilmu agama dan mengajarkan kepada kita dan kepada anak-anak kita. Tanpa adanya ulama dan ustadz maka sudah sejak dulu ajaran kebaikan ini (Islam) punah dan sudah sejak dulu dunia kiamat.

“Tidak akan tiba hari Kiamat hingga Allah mengambil orang-orang baik (ulama) dari penduduk bumi, sehingga yang tersisa hanyalah orang-orang yang jelek, mereka tidak mengetahui yang baik dan tidak mengingkari yang munkar.” (Shahiih al-Bukhari, kitab Akhbaarul Aahaad, bab Maa Jaa-a fii Ijaazati Khabaril Waahidish Shadiq (XIII/232, dalam al-Fat-h).

Kewajiban membela para ulama dan ustadz yang sholihun (bukan ulama yang su’ atau jahat) sama dengan membela agama itu sendiri. Menjelek-jelekkan dan mem-bully para ulama atau ustadz yang sholih sama dengan meruntuhkan agama itu sendiri.

Syaikh Utsaimin berkata, “Mengghibah (menjelek-jelekkan) ulama memberikan mudarat kepada Islam seluruhnya. Karena umat tidak akan percaya lagi kepada ulama lalu mereka akan meninggalkan fatwa para ulama dan lepaslah mereka dari agama.”

Saya yakin, itu juga yang membuat banyak teman, sahabat dan murid-murid dari Ustadzah Kingkin Anida terus mendoakan, mendukung dan membantu beliau, baik secara materil maupun imateril.

Saya yakin, itu juga yang membuat banyak umat Islam terus mendoakan, mendukung dan membantu para ulama dan ustadz yang sedang dizalimi di muka bumi ini, dimanapun mereka berada. Sungguh merupakan ladang pahala yang besar dan sarana peningkatan ghiroh iman yang luar biasa jika kita bisa membela dan membantu para ulama serta ustadz-ustadz sholihun yang sedang dalam kesulitan.

Allah SWT bahkan menyuruh kita agar memprioritaskan berinfaq terhadap orang-orang yang tidak meminta-minta (yaitu para mujahid, ulama dan ustadz) yang sedang dalam kesulitan ekonomi karena sibuk berdakwah di jalan Allah.

“(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengatahui.” (Qs. Al Baqoroh ayat 273).

Maka menjadi mengherankan jika saat ini banyak orang membayar murah guru-guru ngaji (itupun kadang difitnah dengan tuduhan menjual agama), tapi di sisi lain membayar mahal para artis, selebritis atau motivator sekuler.

Kembali ke topik, pembelaan saya kepada Ustadzah Kingkin Anida baik di dalam pikiran, perasaan, waktu dan biaya adalah bagian dari jihad saya membela seorang ustadzah. Apalagi jumlah ustadzah saat ini jauh lebih sedikit dibandingkan ustadz. Sejak masih kuliah di tahun 1986, Ustadzah Kingkin Anida sudah berdakwah. Waktu itu jumlah ustadzah lebih sedikit lagi. Beliau berceramah dan mengisi pengajian (liqo’) sambil menggendong anak-anaknya yang masih kecil. Naik kendaraan umum dengan jarak yang jauh tanpa ditemani saya, suaminya, karena harus bekerja. Ketika suami-suami lain menjaga istrinya untuk tidak banyak keluar rumah, istri saya justru banyak keluar rumah berceramah sampai ke pelosok-pelosok Indonesia mengisi kekosongan “stock” ustadzah yang masih langka. Padahal ibu-ibu butuh ustadzah untuk membentuk ummu jail (ibu pencetak generasi pelanjut).

Beliau pernah bilang kepada saya, “Abi harus ingat komitmen kita menikah untuk dakwah. Jadi abi harus mengerti ummi lebih banyak berada di jalan-jalan berdebu untuk dakwah. Afwan jika waktu untuk abi dan anak-anak jadi berkurang. Insya Allah ada keberkahan di balik kesibukan ummi berdakwah”

Semenjak itu, saya tidak pernah lagi melarang beliau berdakwah dan menjadi aktivis kemanusiaan (Afwan ya mi, abi tidak selalu bisa mendampingi ummi untuk berdakwah karena harus cari nafkah).

Sekali lagi, pembelaaan saya kepada Ustadzah Kingkin Anida bukan “sekedar” pembelaan terhadap seorang istri. Tapi pembelaan terhadap ustadzah yang saya tahu betul dan menjadi saksi hidup selama puluhan tahun bahwa beliau benar-benar telah mewakafkan dirinya di jalan dakwah. Tentu dengan segala kelebihan dan kekurangannya sebagai manusia biasa.

Yang istri saya sampai saat ini tidak tahu adalah jika saya berpikir macam-macam atau menyakiti beliau, saya merasa bukan sedang menyakiti seorang istri, tapi juga menyakiti seorang ustadzah. Seorang kekasih Allah, seorang pembela Allah, yang pasti Allah akan murka kepada saya.

Itulah sebabnya di ruang publik ini saya lebih suka memanggil istri saya dengan sebutan “ustadzah”. Rasa hormat dan takjub saya kepada beliau. Guru kehidupan dan dakwah bagi saya, yang atas takdir dan nikmat Allah menjadi istri saya… insya Allah sampai akhir hayat.

 

(Ditulis sambil menunggu sidang Ustadzah Kingkin Anida, Selasa 23 Maret 2021 jam 14.00).

About Redaksi Thayyibah

Redaktur