(Foto : Konsultasi Syariah)

Apa itu Mubahalah?

Oleh: Ustad Sambo

(Foto : Konsultasi Syariah)

Mubahalah berasal dari kata

باهل – يباهل – مباهلة

(baa-ha-la-  yubaahilu – mubaahalatan), yg maksudnya adalah :

أَن يجتمع القوم إِذا اختلفوا في شيء فيقولوا : لَعْنَةُ الله على الظالم منا

“Berkumpulnya sekelompok orang (kaum) setelah terjadinya perselisihan di antara mereka dalam suatu urusan, kemudian mereka berkata (saling mendoakan): “Laknat Allah atas yang zhalim diantara kita” (Lihat Kitab Lisaanul Arab)

Mubahalah  dalam syariat Islam bertujuan untuk membenarkan suatu yang memang hak, dan menundukkan kebatilan.  Adapun dasar hukum (dalil) disyari’atkannya Mubahalah adalah firman Allah:

فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ.

“Siapa yang membantahmu (Muhammad) di dalamnya (tentang kisah Nabi Isa tsb) sesudah datang ilmu (kebenaran) kepadamu, maka katakanlah (kepada org itu atau mereka): “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah (saling mendoakan kehancuran) kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta” (QS. Ali Imran : 61)

Adapun sebab turunnya ayat di atas, bahwa utusan orang Nashrani dari Najran ketika mereka datang ke Madinah, mereka mendebat Nabi Muhammad tentang masalah Nabi Isa, mereka mengklaim sebagaimana keyakinan mereka bahwa  Isa adalah seorang Nabi dan Tuhan. Keyakinan yang bathil tersebut terbantahkan setelah kehadiran Nabi  yang menjelaskan kepada mereka hal yang sebenarnya dengan bukti-bukti yang nyata, bahwa Nabi Isa adalah hamba dan Rasul Allah.

Maka Allah menyuruh Nabi Muhammad untuk mengajak  mubahalah dengan mereka, utusan Nasrani itu, agar beliau dan keluarganya, istri dan anak-anaknya, menghadiri majelis mubahalah, serta meminta mereka juga menghadirkan istri dan anak-anak mereka, kemudian Nabi dan mereka saling berdoa kepada Allah Ta’ala agar siksa dan laknat-Nya menimpa orang-orang yang dusta di antara mereka.

Maka Rasulullah  menghadirkan Ali bin Abi Thalib, Fatimah, Hasan dan Husain dan beliau bersabda: “Mereka adalah keluargaku (Ahlul Bait)”.

Maka penduduk Najran bermusyawarah di antara mereka: Apakah mereka menerima ajakan mubahalah tersebut?  Ternyata kesimpulan mereka tidak berani menjawab ajakan mubahalah itu, karena mereka mengetahui bahwa jika mereka menerima ajakan tersebut maka mereka, istri dan anak-anak mereka akan binasa. Maka mereka meminta damai kepada Rasulullah dan membayar zizyah. Dan mereka mohon pamit dan damai sampai waktu yang sudah ditentukan. Dan Rasulullah pun menyetujui hasil kesepakatan mereka. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir)

Berkaitan dengan masalah mubahalah ini Ibnu Al-Qayyim  Rahimahullah berkata:

السُّنَّة فى مجادلة أهل الباطل إذا قامت عليهم حُجَّةُ اللهِ ولم يرجعوا ، بل أصرُّوا على العناد أن يدعوَهم إلى المباهلة ، وقد أمر اللهُ سبحانه بذلك رسولَه ، ولم يقل : إنَّ ذلك ليس لأُمتك مِن بعدك

“Merupakan suatu Sunnah dalam perdebatan dengan pembela kebatilan apabila hujjah Allah telah tegak atas mereka namun mereka tidak rujuk (kembali kpd kebenaran), bahkan mereka tetap di atas pembangkangan (kebatilan tsb) adalah agar mereka diajak kepada Mubahalah. Sungguh Allah Ta’ala telah memerintahkan Rasul-Nya dengan hal itu, dan Allah tidak pernah berifrman : Bahwa hal itu (Mubahalah tsb) bukan untuk ummatmu setelah (wafat)mu.”  (Kitab Zaadul Ma’ad)

Mubahalah ini berlaku umum, tidak hanya saat mendebat orang kafir. Tetapi jika kepada orang Islam yang menyimpang dan jahat. Para ulama di Al Lajnah Ad Daimah mengatakan:

ليست المباهلة خاصة بالرسول صلى الله عليه وسلم مع النصارى ، بل حكمها عام له ولأمته مع النصارى وغيرهم ؛ لأن الأصل في التشريع العموم ، وإن كان الذي وقع منها في زمنه صلى الله عليه وسلم في طلبه المباهلة من نصارى نجران فهذه جزئية تطبيقية لمعنى الآية لا تدل على حصر الحكم فيه

“Mubahalah bukan Kekhususan bagi Nabi SAW bersama Nasrani saja, tapi juga berlaku umum bagi umatnya baik dengan Nasrani atau selainnya. Sebab, hukum asal dari tasyri’ (pensyariatan) adalah berlaku umum, walau pun kejadian nyatanya di zaman Nabi Muhammad SAW merupakan ajakan kepada Nasrani Bani Najran secara khusus, tapi penerapan hukum yang ada tidaklah dibatasi”. ( Fatawa Al Lajnah Ad Daaimah)

Adapun syarat-syarat mubahalah adalah seperti yang telah disimpulkan oleh al-‘Allamah Ahmad bin Ibrahim dalam Syarh Qashidah Ibnilqayyim :

وأما حكم المباهلة : فقد كتب بعض العلماء رسالة في شروطها المستنبطة من الكتاب والسنة والآثار وكلام الأئمة ، وحاصل كلامه فيها : أنها لا تجوز إلا في أمر مهم شرعا وقع فيه اشتباه وعناد لا يتيسر دفعه إلا بالمباهلة ، فيشترط كونها بعد إقامة الحجة ، والسعي في إزالة الشبه ، وتقديم النصح والإنذار ، وعدم نفع ذلك ، ومساس الضرورة إليها. انتهى

Adapun Hukum Mubahalah tsb, sungguh sebagian ulama telah menulis risalah dgn syarat-syarat Mubahalah tsb yang diambil  dari al-Qur’an, al-Sunnah, beberapa Atsar, dan pendapat para ulama, dan kesimpulan perkataan mereka dalam hal ini adalah : Mubahalah tidak boleh dilakukan kecuali dalam masalah yang penting dalam syariat, dimana masalah tersebut terdapat kesamaran dan penolakan, sehingga tidak mudah untuk membantahnya kecuali dengan Mubahalah. Mubahalah disyaratkan setelah penegakan hujjah, dan setelah berusaha menghilangkan kesamaran hukum yang menjadikan mereka menolak yang hak. Mubahalah disyaratkan dilakukan setelah disampaikan nasehat dan peringatan, namun cara itu kemudian tetap tidak bermanfaat. Dan dilakukan karena adanya keperluan mendesak untuk melakukan mubahalah tersebut.”

 Dan diantara semua syarat tersebut yang paling penting adalah ketulusan niat dalam menjalankan mubahalah, Syaikh Shalih al-Munajjid berkata dalam fatwanya:

إخلاص النية لله تعالى ؛ وأن يكون الغرض من المباهلة إحقاق الحق ونصرة أهله وإبطال الباطل وخذلان أهله . فلا يكون الغرض منها الرغبة في الغلبة للتشفي وحب الظهور والانتصار للهوى ونحو ذلك

“Mengikhlaskan niat hanya karena Allah Ta’ala, dan hendaknya tujuan dari Mubahalah tersebut ialah menetapkan yang hak dan menolong pihak yang benar, dan membatalkan kebatilan, dan menghinakan pihak yang batil. Maka tujuan Mubahalah bukan ambisi untuk meraih kemenangan untuk mengobati rasa sakitnya, dan menyukai ketenaran dan memenangkan kemauan, dan hal-hal yang semisal dengannya”

 Adapun Syarat-syarat mubahalah itu secara lengkap  adalah sebagai berikut :

  1. Ikhlas karena Allah Ta’ala, bukan untuk mencari ketenaran, tapi utk membuktikan kebenaran.
  2. Meyakini kebenaran masalah yang diperselisihkan
  3. Sudah disampaikannya hujjah kepada pihak yang menolak kebenaran tersebut dan tetap menolak dan melawan kebenaran tersebut.
  4. Hanya dalam urusan-urusan yang dianggap sangat penting oleh Syari’at (Agama Islam), bukan masalah perselisihan (ikhtilaf) fiqih yang memang para ulama sudah sejak lama tidak sama pendapatnya. Atau masalah-masalah sepele dan tidak penting.
  5. Masing pihak yang berselisih membawa serta keluarga dekat saat bermubahalah.

Sebenarnya tidak ada ucapan/doa khusus dalam masalah mubahalah ini,  namun demikian disini diberikan   contoh yang dapat dipakai oleh pihak-pihak yang bermubahalah. Berikut ini contoh doa/ucapan/sumpah dari pihak-pihak yag bermubahalah  dengan ucapan :

“Demi Allah, Tuhan langit dan bumi, aku bersumpah bahwa aku (sebutkan namanya, sebagai pihak pertama) adalah benar dalam masalah ini dan si Fulan (sebutkan namanya, sebagai pihak kedua) telah berdusta dalam masalah ini. Aaka Yaa Allah timpakanlah laknat dan azabMu kepada siapapun diantara kami yang berdusta dan seluruh keluarganya”.

Pihak yang menolak juga bersumpah dengan mengatakan: “Demi Allah aku bersumpah bahww aku (sebutkan namanya sebgai pihak kedua) adalah benar dalam masalah ini dan si Fulan (sebutkan namanya, sebagai pihak pertama ) telah berdusta dalam masalah ini. Maka Yaa Allah timpakanlah laknat dan azabMu kepada siapapun diantara kami yang berdusta dan seluruh keluarganya.”

About Redaksi Thayyibah

Redaktur