Breaking News
Salah satu rumah tahfidz di Pondok Gede, Bekasi dan pengelolanya. Mengelola rumah tahfidz secara mandiri dan hanya mengirim data ke Daarul Qur'an. (Foto : Darso Arief)

Mahalnya Jadi Santri Tahfidz di Daarul Qur’an!

Oleh: HM Joesoef (Wartawan Senior)

Salah satu rumah tahfidz di Pondok Gede, Bekasi dan pengelolanya. Mengelola rumah tahfidz secara mandiri dan hanya mengirim data ke Daarul Qur’an. (Foto : Darso Arief)

Bulan Januari lalu, melalui media sosial, Yusuf Mansur membuat pengumuman. Isinya,lagi-lagi mengajak umat Islam untuk bentu mewujudkan SATU JUTA PENGHAFAL QUR’AN. Oleh sebab itu ia mengajak umat untuk berdonasi dalam “Program Beasiswa Para Penghafal Qur’an Pesantren Daarul Qur’an” yang dikelolanya. Yusuf Mansur yang mengklaim Daarul Qur’an ada di 21 provinsi dengan jumlah 1300 rumah tahfidz itu terus berambisi untuk mencetak para penghafal Qur’an sampai angka 1 juta santri.

Mari kita tengok sosok Daarul Qur’an yang berpusat di Cipondoh, Tangerang, Banten, itu. Ada tiga model yang berkembang terkait dengan Daarul Qur’an yang ada di tengah-tengah masyarakat. Pertama, Pola Mandiri. Dengan pola ini, mulai dari sarana dan prasarana, dikelola secara mandiri. Dari mencari dan membayar guru-gurunya sampai mencari santri. Pihak Daarul Qur’an hanya memberi panduan dan metodologi cara menghafal Qur’an. Mereka boleh mengedarkan proposal, tapi atas nama yayasan atau perkumuplan yang ada. Tidak boleh mengajukan proposal atas nama Daarul Qur’an. Jika mereka mengedarkan proposal atas nama Daarul Qur’an, hasilnya harus disetorkan pada Daarul Qur’an pusat.

Kedua, pola Mitra Mandiri. Pihak penyelenggara menyediakan sarana dan prasarana serta santri, sedangkan pihak Daarul Qur’an mensuplai ustadnya. Ustadnya akan ditanggung oleh pihak Daarul Quran. Metode menghafal Qur’an juga disiapkan oleh Daarul Qur’an.

Ketiga, sebagai Mitra.Seseorang atau yayasan mewakafkan gedung kepada pihak Daarul Qur’an, selebihnya pihak Daarul Qur’an yang akan mengelola rumah tahfidz tersebut. Jadi, dari santri sampai ustadznya, akan diurus dan didanai oleh Daarul Qur’an pusat.

Dari ketiga model tersebut, kini yang berkembang adalah yang mandiri. Para pengelola yang ada di berbagai daerah itu, ingin mengelola sesuai dengan kemampuan yang ada. Karena mayoritas dikelola secara mandiri atau mitra mandiri, keadaannya pun beragam. Dari rumah tahfidz yang hanya bisa diakses dengan jalan kaki sampai dengan yang bisa diakses dengan kendaraan roda empat. Kondisi fisiknya juga berbeda, dari yang bangunan modern sampai rumah dengan keadaan apa adanya, bahkan tak jarang terkesan kumuh.

Para pengelola rumah-rumah tahfidz tersebut, terlihat dan terasa benar keihlasannya. Mereka hanya memasang tarif minimalis, bahkan gratis bagi mereka yang tidak mampu. Ada juga yang semua aktifitas belajar mengajar gratis semuanya. Jika ada kekurangan dana, mereka mencari dari sumber-sumber yang halal. Jika dilihat dari sini, nampak bahwa para pengelola rumah-rumah tahfidz tersebut, bahkan ada juga yang merintis menjadi sebuah pesantren, adalah orang-orang yang tulus ikhlas dan mengabdi untuk memasyarakatkan Al-Qur’an.

Rumah-rumah tahfidz yang terkait dengan Daarul Qur’an diminta datanya, lalu, data tersebut yang dijual ke jamaah. Dengan jargon akan mencetak 1 juta penghafal Qur’an, Yusuf Mansur mencari donasi kepada umat. Mari kita lihat, kondisi 1.300 rumah tahfidz dengan berbagai kondisinya tersebut. Masing-masing rumah tahfidz jumlah santrinya sangat variatif. Satu rumah tahfidz antara 5 sampai 50 orang atau lebih santrinya. Di satu rumah tahfidz misalnya, santri penghafal Qur’an hanya ada 11 orang, sedangkan santri untuk membaca dan tilawah jumlahnya bisa mencapai puuhan orang. Oleh Yusuf Mansur, data yang diambil dan dikapitalisasi adalah data yang 50 orang tersebut.

Adapun Daarul Qur’an yang langsung dibawah Yusuf Mansur, hanya ada di Cipondoh, Tangerang (sebagai kantor pusat), Cikarang, Semarang, Lampung, Jambi, dan Banyuwangi. Di masing-masing daerah di luar Tangerang, rata-rata santrinya Cuma 250 orang. Itu pun tidak semuanya mengkhususkan diri menghafal Al-Qur’an. Untuk menjadi santri di pesantren diatas, uang masuk untuk SD, puluhan juta rupiah. Bahkan, di Tangerang dan Cikarang, uang masuknya mencapai Rp 40 juta dengan SPP mencapai Rp 4 juta per bulan. Ini belum biaya makan dan cuci pakaian.

Ustadz Ghozali (Foto : Darso Arief)

Sekarang yang digembar-gemborkan adalah untuk memberi beasiswa kepada para calon penghafal Qur’an. Apakah program beasiswa tersebut benar-benar gratis dan karenanya perlu meminta donasi dari umat? Faktanya tidak demikian. “Yang namanya beasiswa itu ya tetap saja mengeluarkan uang,” kata ustadz Ghozali yang punya rumah tahfidz yang bermitra dengan Daarul Qur’an di daerah Karawang, Jawa Barat. Ternyata, yang namanya beasiswaitu, santri hanya dibebaskan untuk uang masuknya. Sedangkan bulanannya, untuk makan dan cuci pakaian, para orangtua tetap saja merogoh kantongnya Rp 5 juta per bulan. Ini belum termasuk biaya-biaya jika si santri hendak sekolah untuk mendapatkan pelajaran umum, ada lagi pengeluaran yang juga tidak kecil.

Jadi, untuk menjadi penghafal Qur’an di pesantren tahfidz yang dikelola oleh Daarul Qur’an, bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, biayanya cukup mahal. Tetapi kok masih meminta donasi dari umat? Wallahu A’lam.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur