Breaking News
(Foto : PR)

HRS, MEDIA INTERNASIONAL, DAN BUZZER ABU JAHAL

Oleh: Muhammad Zulkifli

(Foto : PR)

Peristiwa penembakan 6 santri FPI minggu lalu tidak saja menjadi konsumsi berita dalam negeri, tapi juga media-media di luar negeri. Menarik untuk melihat bagaimana persepsi (atau framing) yang digunakan oleh media-media luar tersebut mengenai peristiwa ini, khususnya tentang sosok Habib Riziek Shihab (HRS).

Menurut teorinya, framing terjadi ketika media… highlights certain events and then places them within a particular context to encourage or discourage certain interpretations. In this way, the media exercises a selective influence over how people view reality (Gregory Bateso, 1972)

Penulis mencoba mengambil sampel 4 media internasional online yang cukup populer di negaranya masing-masing, yaitu South China Morning Post (SCMP), New York Times, Aljazera dan Straits Times.

Pemilihan kata merupakan salah satu yang menjadi perhatian. South China Morning Post misalnya, menggunakan diksi yang berkonotasi negatif seperti sekretarian dan garis keras. Media ini pun juga menghubungkan HRS dengan pelanggaran protokol Covid, azan jihad, kampanye hukum Islam, dan tokoh gerakan garis keras 212. Tulisannya pun membenturkan HRS dan FPI dengan kelompok lain yang dianggap inklusif (secretarian versus inclusive).

Menariknya, SCMP menerjemahkan “revolusi akhlak” yang digaungkan oleh HRS dengan istilah moral crusade. Entah apa maksudnya menggunakan terminologi crusade (Perang Salib) yang sangat sensitif tersebut di dalam artikel ini.

Berita ini juga menulis tentang pistol dan samurai sebagai barang bukti. Di luar konteks tersebut, FPI dan HRS juga dihubungkan dengan doa keburukan buat Jokowi, penghinaan terhadap Pancasila, kasus pornografi dan pemenggalan kepala penghina Rasulullah saw.

Meski demikian, media ini cukup berimbang dalam mengambil sumber, yaitu dari kepolisian dan FPI sendiri, walau porsi dari FPI lebih sedikit. Termasuk juga narasumber pihak ketiga seperti Setara Institute, mantan Menteri Lingkungah Hidup Sarwono Kusumaatmadja dan ISEAS-Yusof Ishak Institute.

FPI pun digambarkan sebagai organisasi yang “has been implicated in multiple acts of harassment, intimidation, threats and mob violence against religious minorities.”

Bagaimana dengan Aljazera? Media ini cukup menjadi favorit di kalangan umat Islam terutama saat perang AS di Afghanistan dan Irak karena dianggap lebih berimbang memberitakan dibanding CNN atau Reuters. Dalam konteks kasus penembakan 6 laskar FPI, judulnya sudah mempertegas bahwa kepolisianlah yang telah membunuh. Tidak ada diksi baku tembak di dalamnya, namun lebih mengarah pada penggunaan diksi garis keras, pelanggaran prokes dan kampanye melawan kelompok minoritas. Berbeda dengan SCMP, Aljazera mengambil sumber sekunder dari pemberitaan Kompas dan Reuters.

Pada New York Times, HRS diposisikan sebagai musuh paling tangguh dari Presiden Joko Widodo dengan basis massa puluhan ribu orang. Menurut media ini, HRS membela Islam di negara mayoritas muslim yang dijalankan oleh pemimpin korup dan amoral, sementara kelompok yang berseberangan dengannya memposisikan HRS sebagai penyebar kebencian dan penyebar virus korona. FPI pun diasosiasikan dengan organsisasi yang merusak bar, menganiaya sekte agama, dan menyerang kegiatan-kegiatan LGBT.

New York Times juga mewawancarai Jajang Jahroni, dosen UIN Syarif Hidayatullah untuk melengkapi reportasenya, yang mengatakan bahwa “melanggar aturan dan kontorversi adalah kebiasaan HRS” dalam wawancara tersebut. Selain itu, media ini juga mengutip pendapat Ian Wilson, dosen senior di Murdoch University, Australia yang pernah menghabiskan waktu bersama HRS di masa-masa awalnya. Ia mengatakan bahwa FPI sudah bertransformasi dari gerakan militansi menjadi gerakan sosial politik, dari kelompok yang main hakim sendiri menjadi kekuatan politik yang sangat diperhitungkan.

Straits Times, media berbasis di Singapura lebih halus dalam menerjemahkan “revolusi akhlak” dengan menggunakan istilah moral revolutions. Namun, pemilihan bahasanya pun terkesan keras, misalnya raiding (merampok) dan violently (dengan kejam). Media ini juga mengatakan sejak HRS di luar negeri, gerakan garis keras FPI relatif lebih diam dan Jokowi menjalankan pemerintahannya tanpa ada tekanan.

George Lakoff, seorang profesor dari University of California, Berkeley, mengatakan bahwa framing (pembingkaian) memiliki banyak elemen, yaitu pesan, pembawa pesan, konsumen pesan (audiens), medium, gambar, konteks dan pemilihan bahasa. Bahasa sederhananya, framing adalah menonjolkan 1 fakta dan menyembunyikan fakta lainnya, dengan tujuan memperkuat persepsi yang ingin dibentuk

Jauh di masa awal kenabian, framing pun sudah pernah dilakukan oleh kaum Quraisy di Makkah untuk mendiskreditkan Rasulullah saw, dengan menggunakan kata-kata berkonotasi negatif seperti tukang sihir (QS.38:4), penyair (QS.37:37), dan orang gila (QS.15:6). Padahal, mereka sebelumnya juga mengakui bahwa Rasulullah adalah orang yang terpercaya, jujur dan amanah. Fakta ini mereka coba abaikan. Hanya karena Nabi saw mulai berdakwah, maka terciptalah framing. Pesannya adalah: jangan percaya sama Muhammad. Pembawa pesannya adalah Amr bin Hisyam alias Abu Jahal, tokoh masyarakat terkemuka yang sangat dihormati.

Jadi, andai zaman itu sudah ada media massa dan media sosial, Abu Jahal pasti sudah punya alat untuk menciptakan framing tentang dakwah Rasulullah. Dengan kekuasaan informal dan kekayaannya, bisa dipastikan juga dia akan mengerahkan buzzer di media sosial untuk mendiskreditkan Islam dan Muhammad saw.

“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.” (QS.24:!1)

Apa yang terjadi pada hari ini, sesungguhnya adalah pengulangan apa yang telah terjadi 1400 tahun yang lalu.

 

About Redaksi Thayyibah

Redaktur