Breaking News

Sedekah, Tapi Ngarep?!

(Catatan untuk Yusuf Mansur)

Oleh: HM Joesoef (Wartawan Senior)

Terbersit berita, Yusuf Mansur membanting harga masuk ke pesantren binaannya, Daqu, dengan harga hanya 5 juta. Padahal di awalnya dibandrol dengan mata uang Dollar kemudian dipatok pada angka 40 juta. (Foto : Istimewa)

 

Jika ada seseoang datang ke Yusuf Mansur karena belum mendapat jodoh, ada yang karena terlilit utang, ingin beli mobil, agar anaknya sembuh dari sakit, dan seterusnya, solusinya hanya satu: sedekah! Ya, bagi Yusuf Mansur, sedekah adalah solusi dari semua persoalan hidup di dunia ini. Sedekah menjadi solusi sapu jaga!

Maka, Yusuf Mansur memperkenalkan istilah “Sedekah Ngarep”. Bahkan pernah menulis buku tentang hal ini. Cermah-ceramahnya tentang sedekah ngarep ini juga bertebaran. Lalu, kemana sedekah disalurkan? Ya tidak lain ke Yusuf Mansur. Mereka datang ke Yusuf Mansur, lalu diberi solusi sedekah yang diberikan ke dirinya. Bahkan, dalam beberapa kasus, terjadi “sedekah paksa”.

Dalam bukunya “Boleh Gak Sih Ngarep: Belajar Tentang Sedekah” Yusuf Mansur memberi solusi dengan sedekah dan shalat malam. Ini untuk untuk meraih kekayaan duniawi dan memecahkan persoalan kehidupan. Simakalah yang ia tulis, “Saudara semua… saya senang mengatakan, jadilah kaya dengan jalan sedekah dan shalat malam. Cara ini cara yang diseru Allah dan Rasul-Nya. Bahkan bagi mereka yang bersedekah dan bangun malam, sudah akan kaya duluan.” “Kaya” yang dimaksud adalah kekayaan duniawi berupa materi. Yusuf Mansur tidak pernah mendasarkan pada ayat Al-Qur’an maupun hadits ketika menyebutkan kata “kaya” tersebut.

Coba tengok hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang makna kaya yang sebenarnya:

ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ، ﻋَﻦِ اﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻗَﺎﻝَ: «ﻟَﻴْﺲَ اﻟﻐﻨﻰ ﻋَﻦْ ﻛَﺜْﺮَﺓِ اﻟﻌَﺮَﺽِ، ﻭَﻟَﻜِﻦَّ اﻟﻐِﻨَﻰ ﻏِﻨَﻰ اﻟﻨَّﻔْﺲِ

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu “Alaihi wa Sallam bersabda, “Hakikat kaya bukan dari banyaknya harta. Namun kekayaan hati.” (HR Imam Bukhari dan Muslim)

Dari mendefinikan tentang “kaya” saja, argument Yusuf Mansur sudah bermasalah. Sekarang, bagaimanakah jika seseorang bersedekah dengan berharap mendapat balasan atau sesuai dengan yang diinginkannya? Dalam Al-Qur’an surah Al-Muddatsir ayat 6, Allah Ta’ala berfirman, “…dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan)yang lebih banyak.”

Dalam tafsirnya, Imam Ibnu Katsir mengutip pendapat Ibnu Abbas (ulama generasi Sahabat) tentang makna ayat diatas, “Janganlah kamu memberi sebuah pemberian dan mengharapkan (balasan) lebih banyak darinya.” Pendapat Ibnu Abbas ini juga diikuti oleh ulama generasi Tabi’in seperti Mujahid, Qatadah, Ikrimah, dan sebagainya. Ibnu Katsir sendiri menyebutkan bahwa penafsiran Ibnu Abbas tersebut yang paling dekat tentang ayat ini.

Izzudin Karimi Abu Khair, dalam bukunya “Cerdas dalam Bersedekah” berpendapat, “Ayat ini melarang memberi sedekah seraya mengharapkan balasan lebih banyak atau lebih besar dariapa yang diberikan.” Pertanyaannya, apakah ini berarti memberi dengan mengharapkan balasan yang sama atau lebih sedikit tidak tercakup dalam larangan ayat?

Jawabannya tetap tercakup, karena ayat berbicara secara umum, karena kebanyakan orang mengharapkan balasan yang lebih banyak dan lebih besar dari apa yang telah diberikannya. Hal ini karena kecenderungan manusia yang hanya menginginkan keuntungan dan tidak menginginkan kerugian. Maka, maksud ayat di atas adalah, jangan mengharapkan balasan apa pun, baik lebih besar, sama ataupun lebih kecil saat memberi.

Sedekah ngarep juga bertentangan dengan semangat surah Al-An’am ayat 162, “Katakanlah (Muhammad): “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan seluruh alam.”

  • Maka, ketika seseorang bersedekah, niatnya adalah semata-mata karena Allah. Bahwa, dengan lantaran sedekah tersebut lalu Allah Ta’ala memberi jalan keluar atas apa yang telah menimpa seseorang, itu memang wilayah dan wewenang-Nya. Allah Maha Tahu akan kebutuhan ciptaannya. Oleh sebab itu, manusia tidak boleh mendesak-ndesak apalagi melakukian fait accompli kepada Allah Ta’ala, agar urusannya bisa teratasi. Tugas manusia beribadah dan melakukan amal shalih, bukan mem- fait accompli Sang Pencipta! Wallahu A’lam.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur