Breaking News
Buya Syafii di kediamannya (Foto : Erik Tauvani)

Hormat Karena Keteladanan

Tentang Buya Syafii Maarif

Oleh: Erik Tauvani

Buya Syafii di kediamannya (Foto : Erik Tauvani)

Rabu, 11 November 2020 yang lalu, sekitar jam 13.00 WIB, saya sowan ke Buya Syafii Maarif di Perum Pesona Regency. Rumah yang biasa dipakai Buya untuk membaca dan menulis. Di masa pandemi, rumah ini juga difungsikan untuk menerima saya sebagai tamu yang membawa salam dari berbagai kalangan.

Rumah yang satu lagi di dekat masjid Nogotirto harus steril dari siapa pun, kecuali Buya dan istrinya. Bahkan anak dan cucu juga ikut menjaga untuk tidak masuk ke dalam rumah dan tetap menjaga jarak karena batang usia Buya dan ibu yang sudah sepuh.

Saya termasuk orang yang sangat beruntung karena Buya berkenan menerima kehadiran saya dengan tetap menjalankan protokol kesehatan secara ketat. Selain saya, mohon maaf dan harap maklum, situasinya memang sedang tidak mudah. Saya pun juga harus tahu diri untuk kita sama-sama menjaga Buya.

Dalam kunjungan kali ini, seperti biasa, Buya bertanya kabar, tidak hanya kabar saya tapi juga kabar istri, kabar studi, dan lain seterusnya. Buya sendiri menampakkan wajah gembiranya ketika bercerita tentang dua kader anak panah yang dikirimnya untuk berdakwah di kampung halaman di Sumpur Kudus, Sijunjung, Sumatra Barat.

Dua kader anak panah ini dikirim Buya untuk mengabdi selama dua tahun. Selama itu juga seluruh biaya hidup kedua anak panah ini ditanggung Buya sendiri. Bahkan, saking gembiranya Buya karena baru tiga bulan telah menampakkan hasil, Buya mengamini usaha kedua anak panah ini untuk mendirikan sekolah Muhammadiyah di sana.

Saya merinding ketika Buya secara antusias menceritakan perjuangan anak panah ini mendekati dan mendidik masyarakat serta kesungguhan Buya untuk mewujudkan harapan membangun kampung halamannya.

Meskipun batang usia telah mencapai 85 tahun, semangat Buya untuk berdakwah tidak pernah surut dan selalu ada cara yang kreatif dan berkemajuan, serta rela mengorbankan harta, bukan sebaliknya.

Tak terasa, obrolan kami terhenti karena kumandang azan telah terdengar. Buya bergegas ke kamar mandi, berwudu, dan shalat Asar. Ia shalat dengan berdiri dan ruku seperti biasa, tapi saat sujud, ia duduk. Keterbatasan fisik orang tua dalam melaksanakan shalat tak menyurutkannya untuk tetap berusaha di awal waktu.

Sejak pertama kali membersamai Buya, soal shalat ini tak pernah berubah. Buya yang dulu masih sama dengan Buya yang sekarang. Tertib dan disiplin. Nasihat Buya yang beberapa kali disampaikan kepada saya agar tetap menjaga shalat, tampak dalam tindakannya.

Buya adalah sosok yang antara lisan dan tindakannya tidak pecah kongsi. Mata air keteladanan itu muncul dari dalam dirinya secara autentik. Buya adalah manusia merdeka. Ia tidak pernah minta dihormati dan dimuliakan. Baginya, kemuliaan yang hakiki adalah dari Allah semata sebab ketakwaan.

Meskipun demikian, saya menghormati Buya karena keteladanan, kesederhanaan, dan kemandiriannya, di samping juga kiprah kebangsaan dan kemanusiaannya yang luas. Semoga sehat selalu, Buya.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur