Breaking News
(Foto : Pantau)

Penyebar Hoaks UU Cipta Kerja haruskah “dipenjara”?

Ole: Pierre Suteki

(Foto : Pantau)

Law-justice.co 9/10/2020 mewartakan bahwa Videl, wanita asal Makassar, Sulawesi Selatan, dibekuk Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri lantaran menyebar hoaks di media sosial tentang Omnibus Law Cipta Kerja. Pelaku yang berusia 36 tahun itu ditangkap karena menyebarkan hoaks terkait Omnibus Law Cipta Kerja melalui akun @videlyaeyang di Twitter.

Berita tersebut di atas cukup menggelisahkan bathin saya sebagai seorang yang tahu sedikit tentang demokrasi, hukum dan Pancasila. Rasanya berat memang hidup di negara demokrasi yang masih tanggung. Kemerdekaan orang untuk menyatakan pendapat baik lisan maupun tulisan selalu berhadapan dengan tembok “kekuasaan” yang konon menyebut dirinya demokratis. Yang salah memang kita, masih mewarisi dan melestarikan semangat bahkan benda “kolonial” berupa KUHP dan peraturan lain yang sewarna. KLERU menurut saya setelah 75 tahun merdeka tetapi karakter kita menghadapi rakyat justru meniru gaya imperialis BELANDA menghadapi penduduk INLANDER.

How democracies die? Sebaiknya kita juga berpikir jernih, sebenarnya siapa yang memancing di air keruh. Siapa yang sejatinya mendorong terjadinya orang keluar rumah menyatakan pendapatnya alias berdemonstrasi menentang, melawan, mengkritisi RUU/UU Ciker ini? Transparansi, komunikasi, legitimasi menjadi masalah serius perumusan UU Ciker ini. Semuanya tampak dilakukan penuh dengan ketidaksempurnaan. Bayangkan, hingga Jumat kemarin tanggal 8 Oktober 2020 saya belum juga mendapatkan kepastian DRAFT OTENTIK RUU CIPTA KERJA yang disetujui untuk disahkan oleh DPR dan Pemerintah menjadi UU. Bahkan, saya langsung meminta kepada salah satu anggota DPR yang saya kenal, namun jawabnya: “…..maaf saya tidak bisa mengirim soft copy-nya karena SAMPE SEKARANG saya juga yang lain belum menerima salinan RUU Cipta Kerja yang disahkan tanggal 5 Oktober 2020”.

Jika anggota DPR saja tidak atau belum menerima salinan RUU yang disetujui untuk disahkan, lalu bagaimana dengan masyarakat awam? Jika masyarakat awam tidak mengetahui draft mana yang otentik, lalu bagaimana bisa mengetahui isi draft otentik RUU tersebut? Jika kemudian orang meraba-raba isi RUU yang tidak jelas keberadaannya itu, apakah serta merta disalahkan? Serta merta dituduh menyebarkan hoaks? Serta merta diancam dengan sanksi pidana dengan tuduhan menyebarkan berita palsu, bohong dll sebagaimana Pasal 14 UU No. 1 Tahun 1946? Bukankah lebih baik juga pemerintah instrospeksi diri dan bertanya, mengapa rakyatku bisa jadi begitu, begini dan lain-lain. Ingat, ini negara demokrasi Pancasila. Tidak elok jika semangat memenjarakan anak bangsa itu selalu diutamakan oleh penguasa demi mempertahankan status quo-nya melalui sebuah UU. Kata Brian Z Tamanaha, ini adalah Negara Hukum yang paling tipis (The Thinnest Rule of Law).

Memenjarakan rakyat karena dituduh melakukan penyebaran hoaks atas informasi RUU yang sebenarnya juga tidak jelas bukanlah cara ksatria. Ini cara non demokratis karena memang sejak awal public hearing dan bentuk penyerapan aspirasi rakyat dalam penyusunan RUU Cipta Kerja ini dinilai sangat kurang dengan berbagai dalih corona dan lain-lain. Pertanyaannya adalah, kalau tahu proses ini masih banyak kendala komunikasi hukumnya, mengapa Pemerintah dan DPR “ngotot” alias nekad menyetujui RUU Ciker ini untuk disahkan? Ingat, sekelas Amerika Serikat saja membutuhkan waktu 3 tahun untuk sosialisasi RUU Omnibus Law, dan pembahasan hingga pengesahannya membutuhkan waktu 5 tahun. Mengapa kita “kesusu” dan tidak mau bersabar membentuk RUU Omnibus Law bahkan rezim legislator sesongah bisa menyelasaikannya dengan target 100 hari. Apakah itu bisa dibenarkan? Apa para anggota dewan dan rakyat juga patut dan bisa untuk dipersalahkan juga?

Sekali lagi, memenjarakan seseorang yang berpendapat, menyatakan persepsinya terhadap informasi yang juga belum jelas bahkan patut diduga juga ada unsur sengaja tidak mempublikasikannya day per day kepada publik, adalah tindakan gegabah serta menunjukkan karakter otoriter sebuah sistem pemerintahan yang mengaku demokratis. Demonstrasi hingga muncul kerusuhan saya kira tidak disebabkan hanya oleh pernyataan pendapat seseorang sekalipun itu hoaks, melainkan oleh rasa tidak puas atas jalannya sistem pemerintahan yang sedang berjalan. Rakyat juga sudah cukup melek terhadap informasi. Persoalannya adalah ketika informasi itu tidak dapat diperoleh dengan lengkap dan transparan serta otentik. Akibatnya kesimpangsiuran pendapat akan terjadi. Jika ini yang terjadi, apakah tidak sebaliknya kita patut MENYATAKAN bahwa yang KLERU adalah juga rezim legislator sendiri? Saran saya kepada pemerintahan negara: jadilah negara benevolen, negara pemurah yang melindungi seluruh tumpah darah dan segenap warga negara. Mereka adalah bagian dari tubuhmu, mereka sejatinya adalah bagian dari keluargamu sendiri.

Selamat datang di dunia ERA SOCIETY 5.0! Humanity, humanity mesti menjadi hukum tertinggi setelah hukum Tuhan. Salus populi suprema lex esto (Cicero).

About Redaksi Thayyibah

Redaktur