Breaking News
Syeikh Ali Jaber mendapat perawatan setelah upaya penusukan itu.

Syeikh Ali Jaber dan Penganiyaan Ulama

Oleh: Djudju Purwantoro
(Presidium Aliansi Pendukung Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia/AP KAMI)

Syeikh Moh Ali Jaber

Ulama Syeikh Moh Ali Jaber, minggu sore (13/9) saat mengisi kajian dan wisuda tahfiz Quran di Masjid Falahuddin, Tamin, Tanjungkarang Pusat, Bandarlampung, diserang dengan hujaman senjata tajam oleh seorang pemuda tidak dikenal.

Walau ustadz Syekh Ali sempat menghindarinya, serangan tusukan itu tetap mengenai lengan kanan tangannya. Beliau selamat walau mengalami luka, dan segera dilarikan ke Puskesmas terdekat. Pria penikam tersebut tertangkap peserta kajian, dan langsung dibawa ke Polsek Tanjungkarang Barat, Lampung.

Syeikh Ali Jaber mendapat perawatan setelah upaya penusukan itu.

Tindakan upaya penyerangan dan percobaan pembunuhan terutama kepada para ustad dan ulama, pernah marak terjadi terutama di wilayah pulau Jawa pada sekira awal rahun 2008 sampai 2009.
Anehnya, mayoritas para tersangka penyerangan dan pembunuhan tersebut, dengan alasan tidak waras (gila) justeru terbebas dari jeratan hukum, sebelum diajukan proses peradilan (due process of law).

Penyidik, seyogiyanya dalam menjalankan peran dan tugasnya, wajib menerapkan dan menegakkan prinsip-prinsip (fairness and profesional of legal principles). Perihal penyerangan Ustad Syekh Ali tersebut, belum apa- apa sudah terbesit info media bahwa pelaku sedang mengidap penyakit mental (gila). Polisi diharapkan tidak serta merta dengan gampang menyimpulkan bahwa si tersangka pelaku mengidap sakit gila.

Beredar wajah penusuk Syeikh Ali Jaber

Kalaupun diduga sakit gila, kenapa para pelaku penyerang selama ini bisa memilih korbannya yaitu para ustadz atau tokoh ulama.

Proses penyelidikan dan penyidikan, melalui proses Berita Acara Pemeriksaan (BAP), harus melibatkan pendapat Ahli hukum yang (independen, profesional).
Perihal alasan pemaaf (karena gila) yang sering disimpulkan polisi kepada tersangka dalam proses penyelidikan atau penyidikan, seyogiyanya jadi kewenangan hakim. Hakimlah yang memiliki kewenangan menyimpulkan dan memutuskan seorang terdakwa sebagai (alasan pemaaf) apakah secara alasan medis memang gila. Jika mang terbukti terdakwa mengidap gila, maka hanya Hakim yang bisa memutuskan dibebaskan dari segala tuntutan pidana (ontslag van alle rechtsvervolgin).

Sesuai bunyi Pasal 44 ayat (1) KUHP:
“Tiada dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal.”

Setidaknya si penyerang tersebut sudah melakukan penganiayaan dengan luka-luka berat, sehingga terancam “pasal 351 ayat (2) KUHP, dengan ancaman hukuman paling berat 5 tahun.”

Oleh karenanya, delik pidana dan kriminalisasi oleh pihak ekstrim terhadap ulama dan agama Islam selama ini, patut dikecam dan diproses hukum.
Kepada pihak Polri supaya mengusut tuntas secara hukum, membongkar aktor intelektual dan segera menyeret pelakunya ke meja hijau.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur