Al Qur'an kuno di Alor

𝐀𝐋-𝐐𝐔𝐑’𝐀𝐍 𝐊𝐔𝐍𝐎 𝐃𝐀𝐋𝐀𝐌 𝐏𝐄𝐒𝐎𝐍𝐀 𝐏𝐔𝐋𝐀𝐔 𝐀𝐋𝐎𝐑

Oleh: Asro Kamal Rokan

Al Qur’an kuno di Alor

JANGAN DULU meninggal sebelum ke Alor. Kalimat ini diucapkan Amon Djobo, Maret 2014 lalu, ketika kami menghadiri pelantikannya periode pertama Bupati Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur.

Amon sahabat saya saat penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) di Pejambon, Jakarta, dua tahun sebelum reformasi. Ketika itu, menjelang pandangan umum hasil diskusi kelompok, Amon mengingatkan saya sebagai juru bicara, agar tidak terlalu keras mengkritik Orde Baru.

Al Qur’an kuno di tangan orang Alor

Tahun lalu, Amon memasuki periode kedua Bupati Alor, dengan pasangan yang sama Imran Duru. Suatu yang langka. Prestasi mereka bagus. APBD meningkat dari Rp 778 milyar sebelum mereka menjabat pada 2014, kini Rp 1,109 triliyun pada 2019.

 

Amon benar. Alor tidak saja memiliki alam yang indah, tapi juga menyimpan sejarah. Jumlah penduduk Alor pada 2018, diperkirakan 204.380 jiwa. Data resmi menyebutkan, pemeluk Kristen (68,05%), Islam (28,79%), Katolik (3,09%), dan Hindu/Budha (0,06%). Hubungan antarpemeluk agama berjalan harmonis.

Di Desa Alor Besar, sekitar 30 km dari Kalabahi — ibu kota kabupaten — ada Mushaf Al-Qur’an kuno, diperkirakan berusia lebih dari 500 tahun, ada yang yang menyebut sekitar 800 tahun. Ini diyakini tertua di Asia Tenggara. Kami bertemu dan berbincang dengan Nurdin Gogo, keturunan ke-14 Sultan Iang Gogo.

“Usia Al Quran kulit kayu ini diperkirakan lebih dari 500 tahun, bisa saja lebih dari itu, karena menurut orang-orang dari kerajaan di Ternate, Al Quran ini berusia lebih dari 800 tahun, terhitung sejak dibawa keluar dari Ternate,” jelas Nurdin Gogo.

Mushaf Al-Quran kuno ini dibuat dari kulit kayu dengan tulisan tangan berwarna hitam dan merah, lengkap 30 juz, disimpan dalam kotak kaca. Beberapa halaman, terlihat mulai keropos. Tidak ada perawatan khusus, karena ahli waris khawatir mushaf ini rusak. Juga tidak boleh dibawa keluar. “Jika dipindahkan ke museum, kami khawatir kondisinya akan rusak karena digunakan bahan pengawet,” ujar Nurdin.

Al-Qur’an tua ini warisan keluarga Iang Gogo. Menurut Nurdin, Mushaf Al-Quran tersebut dibawa ke Alor oleh Iang Gogo dari Kesultanan Ternate pada masa Sultan Baabullah, tahun 1518. Lima bersaudara Iang Gogo menggunakan perahu bersama 𝘛𝘶𝘮𝘢’𝘯𝘪𝘯𝘯𝘢, tiba di Alor untuk menyebarkan agama Islam.

Nurdin menyebutkan, pada 1982 lalu, rumah tempat penyimpanan Al-Quran, terbakar. Semua benda bersejarah peninggalan warisan Gogo tidak ada yang selamat. “Alhamdulillah, Alquran ini tidak terbakar api ketika itu,” ungkap Nurdin.

Di sebelah rumah penyimpanan Mushaf Al-Quran, ada masjid tua yang merupakan pusat dakwah. Masjid ini berarsitektur khas Ternate, setiap tiang kayu saling mengkait.

𝐀𝐥𝐚𝐦 𝐀𝐥𝐨𝐫

Pulau Alor dikelilngi laut Flores dan Laut Banda di sebelah utara, Selat Ombai di selatan — memisahkan dengan Pulau Timor– dan Selat Pantar di barat. Pulau Alor, satu dari 92 pulau terluar Indonesia, berbatasan langsung dengan Timor Leste.

Pantai Pulau Alor

Laut dalam, pantai, pulau-pulau kecil, pegunungan, dan lembah, menjadikan Alor seperti sebaran mutiara. Di bawah laut, dapat ditemukan ikan-ikan langka, karang, juga berbagai ragam tumbuhan laut.

Ada sekitar 18 titik selam untuk melihat keindahan bawah laut, di antaranya Taman Laut Pantar, konon salah satu terindah di Indonesia. Selat Palar merupakan perairan yang mempertemukan Indonesia dengan Australia. Di sini, berbagai biota laut dapat dilihat, di antaranya terumbu karang, ikan hiu, juga lumba-lumba.

Di tengah hutan, ada kolam Bidadari. Dasar kolam dapat dilihat karena airnya bening. Siang hari, terutama pantulan matahari, air terlihat berubah hijau. Hutan-hutan di perbukitan dan perkampungan, ditumbuhi pohon-pohon kayu putih, yang menghasilkan minyak kayu putih.

Wisatawan asing juga banyak datang ke sini, menikmati bawah laut Alor. Diperkirakan ada 20 pulau-pulau kecil di kabupaten ini. Di dekat ibu kota Alor, Kalabahi, ada pulau yang disewa warga Prancis sebagai distinasi wisata.

Rumah di kampung adat Takpala

Selain alam, Alor juga menyajikan budaya tradisional mereka. Di Kampung Adat Takpala, ada beberapa rumah tradisional, yang di tempati penduduk asli, Suku Abui. Rumah-rumah itu di pinggir laut curam. Ketika kami di sini, kepala suku memperlihatkan kepada kami moko dan anak panah.

Penulis memegang Moko bersama bersama kepala Suku Abui (Foto-foto dokumentasi Asro Kamal Rokan)

Moko terbuat dari tembaga, berusia ratusan tahun. Bentuknya seperti drum, berdiameter 80-120 sentimeter, bagian tengah mengecil. Teknologi pembatan moko, berasal dari zaman perunggu, yang diduga berasal dari Vietnam dan China. Pada abad ke-17, moko dipakai sebagai alat musik. Fungsinya berubah sejak abad ke-19, moko menjadi maskawin.

Alor mempesona. Selama tiga hari di Alor, belum banyak objek wisata, budaya, dan sejarah disinggahi.

Kini, rindu ingin kembali…

Jakarta, 13 September 2020.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur