Breaking News
Marsan (baju dan peci putih) bersama penulis.

JALAN SURGA MARSAN (1)

Oleh: Didin Amarudin

Marsan (baju dan peci putih) bersama penulis.

Ada banyak jalan menuju Roma. Pun demikian ada banyak jalan menuju surga. Anda bebas memilihnya. Seperti jalan terjal, aneh dan tak lazim yang dipilih Marsan. Mantan kusir delman yang saya temui Minggu 6 September lalu.

Apa yang ia kerjakan benar-benar crazy. Bukan dalam artian orang dengan gangguan jiwa. Alias ODGJ. Alias gila (Ups…ini istilah lama tidak boleh digunakan lagi). Tapi crazy karena apa yang ia lakukan sungguh extraordinary. Super. Sangat langka dilakukan orang. Di Indonesia. Mungkin di dunia.

Coba anda bayangkan. Ia hanya seorang kusir delman. Apa yang ia makan adalah hasil dari keringat hari itu. Tidak kerja hari itu, tidak ada beras ditanak. Tidak ada beras ditanak, berarti sekeluarga tidak makan.

Jadi jelas Marsan bukan orang yang mampu secara materi. Juga secara keilmuan. Pendidikannya hanya S3: SD, SMP, Selesai. Itu pun sudah paling hebat di keluarganya, yang rata-rata SD pun tidak tuntas.

Tapi dengan segenap keterbatasan itu, di rumahnya yang kecil di daerah Tambun, Bekasi, ia rela merawat orang-orang dengan gangguan jiwa. Sebuah dedikasi yang -maaf- melebihi apa yang bisa dilakukan dinas sosial manapun. Yang mempunyai anggaran belanja dan orang-orang pintar ber-eselon dan bergaji tetap itu.

Anda mungkin pernah mendengar ungkapan “Satu ibu bisa mengurus dan membesarkan sepuluh anak. Tapi sepuluh anak belum tentu sabar mengurus satu ibu di masa tua”. Nah yang diurus Marsan dan istrinya, adalah orang tua renta dari orang lain. Plus ODGJ.

Sebagian asuhan Marsan. (Foto-foto : Dokumentasi Didin Amarudin)

Tambahan lagi, bukan hanya orang tua renta yang ditampung dan dirawat Marsan tapi beragam usia. Mulai anak-anak, remaja, dan orang dewasa. Lelaki dan wanita.

Kondisinya pun beragam. Ada yang datang dalam keadaan sakit fisik juga. Atau datang dalam keadaan hamil tua.

Sekali lagi Yang dirawat bukan keluarganya, bukan saudaranya. Tapi orang tak dikenal. Mulanya satu orang, lalu dua, tiga. Lalu belasan. Kemudian puluhan dan sekarang ratusan.

Maka menjadi hal biasa buat mereka berdua menyuapi para ODGJ itu, lalu dimuntahkan atau disodorkan makanan lalu dibanting piringnya.

Pun mereka harus memandikan setiap hari, menyeboki atau membersihkan kotoran mereka yang berserakan. Dan sekali lagi, mereka semua bukan siapa siapanya Marsan.

Sebagai balasannya, bukan ucapan terima kasih, bahkan di antara mereka ada yang memukul. Dan semua itu dihadapi Marsan dan istrinya dengan penuh kesabaran.

Ini ada lagi. Anda tentu merasa tidak nyaman jika di dalam rumah anda tercium bau kotoran kucing dari halaman depan. Marsan malah ‘mengundang’ bau amis dan bau kotoran itu ke dalam rumahnya.

Bau amis karena tidak semua ODGJ mau mandi atau dimandikan setiap hari. Bau kotoran dan kencing manusia, karena itu tadi mereka bisa buang hajat atau kencing di mana saja.

Dan bau itu tercium sepanjang hari. Boleh dibilang permanen sejak Marsan memutuskan merawat jiwa-jiwa yang sakit itu. Lihat betapa hebatnya Marwan dan keluarganya!

Kisah Marsan menjadi perawat ODGJ boleh dibilang tidak sengaja. Awalnya ia hanya iba melihat seseorang di suatu sore mengais-ngais sampah mencari makanan untuk di makan.

Sampai di rumah nuraninya merintih,” Bagaimana mungkin seorang manusia memakan makanan dari sisa-sisa sampah yang sudah dikerubuti lalat? Yang bahkan binatang pun belum tentu mau memakannya? Bukankah ia makhluk Tuhan yang harus dikasihi?”

Panggilan hatinya langsung mengatakan,” Kamu harus mengurus orang itu, Marsan!”

Maka tanpa berpikir panjang, keesokan harinya, ia naikkan orang itu ke dalam delman untuk dibawa ke rumahnya. Ia mandikan dan ia potong rambutnya. Kemudian sepiring nasi dengan lauk seadanya ia sodorkan. Lalu si ODGJ itu makan dengan lahapnya.

Marsan baru tersadar saat istrinya bertanya,” Mau ditempatkan di mana orang ini?” Sedang rumah yang ada saja kecil.

“Bagaimana kalau dia ngamuk, melukai anak kita yang masih kecil? Bagaimana kalau kabur lalu melukai anak tetangga?” lanjut istrinya.

Tapi Marsan muda sudah bulat dengan keputusannya. Ia harus merawat orang itu. Maka ia tempatkan si ODGJ itu di loteng kandang kuda.

Sebenarnya ia was-was juga. Kalau tengah malam ia benar-benar berontak dan ngamuk bagaimana? Maka semalaman itu Marsan berjaga nyaris tidak tidur.

ODGJ pertama yang ia rawat itu bernama Rudi. Itupun setelah dua bulan baru tahu kalau namanya Rudi bukan Boy. Sebelumnya Marsan memanggilnya dengan Boy, sama seperti nama kuda kesayangannya. Toh Boy, ups… Rudi tidak protes, karena selama dua bulan itu ia tidak mau berbicara walau sepatah kata.

Setelah tiga bulan Marsan merawat dan menerapi Rudi dengan penuh kesabaran Rudi menjadi normal kembali.

“Rumahmu di mana Rud?” Tanya Marsan.

“Di Karawang, Pak.” Jawab Rudi yang umurnya jauh lebih tua dari Marsan.

“Dulu kamu dari Karawang sampai sini naik apa?” lanjut Marsan.

“Jalan kaki, Pak.”

“Berapa lama?” tanya Marsan lagi.

“Gak tahu Pak,” balas Rudi,“Dulu kan saya gak waras.”

“Ya sudah. Kamu sekarang pulang. Kalau ada apa-apa ini nama saya dan alamat saya.” Kata Marsan sambil menyodorkan secarik kertas.

Maka dengan dibekali uang tujuh ribu rupiah Rudi pulang ke rumahnya di Karawang.

Cerita Rudi belum usai. Tiga hari kemudian Rudi kembali lagi. Tidak sendirian tapi diantar ibunya. Begitu melihat Marsan, ibu tua itu langsung sungkem dan kemudian memeluk Marsan. Sambil terisak ia mengatakan, “Rudi ini sudah saya sedekahin, sudah ditahlilkan, karena dianggap meninggal sejak hilang lima tahun silam.”

Di titik inilah Marsan mendapatkan magical moment. Bahwa walau dirinya hanya seorang kusir delman namun hidupnya dapat bermanfaat untuk orang lain. Maka sejak itu ia membuat keputusan besar: akan mendedikasikan hidupnya untuk merawat ODGJ-ODGJ dari manapun asalnya.

Momen bersejarah itu terjadi tahun 1992. Saat Marsan berusia 22 tahun.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur