Breaking News
Deklarasi KAMI (Foto : Liputan6)

KAMI Bersikap sesuai Negara Hukum

Oleh: Djudju Purwantoro

(Deklarator Aliansi Pendukung – Koalisi Menyelamatkan Indonesia (AP-KAMI)

Deklarasi KAMI (Foto : Liputan6)

Sehubungan dengan pernyataan Prof. Idrianto Seno Adji, tentang KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) melalui mass media pada tgl 18 Agustus 2020, maka perlu kami sampaikan beberapa tanggapan sebagai berikut :

Pernyataan Prof. Indriyanto Seno Adji (ISA) antara lain mengatakan bahwa : “Apabila KAMI melakukan kritik/pernyataan terhadap kebijakan maupun keputusan pemerintah atau pernyataan yang tendensius dan tidak objektif, hal itu bisa disebut sebagai bentuk penghinaan formil, atau Provokasi penggantian pucuk pimpinan negara.”

Perlu dipahami bahwa salah satu jati diri KAMI, akan bersikap dan bertindak sesuai prinsip-prinsip negara hukum (rechtstaat). Didasari dengan keyakinan bahwa hukum dan keadilan harus dilaksanakan dan ditegakkan, serta kebatilan dan kemungkaran harus dihukum (due process of law).

Faktanya proses penegakkan hukum yang terjadi sekarang ini (Ius Constitutum), masih sangat jauh dari rasa keadilan masyarakat. Masih banyak ditemui praktek pembentukan hukum yang menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945. Oleh karenanya, KAMI juga menuntut Pemerintah untuk menghentikan model penegakan hukum yang karut marut dan diskriminatif, memberantas mafia hukum, menghentikan kriminalisasi lawan-lawan politik rezim.

Azas persamaan hukum bagi setiap warga negara (Equality Before the Law), sesuai pasal 27 ayat (1) UUD 1945, masih jauh dari harapan keadilan dalam penerapan dan pelaksanaannya di negeri ini. Sementara itu hukum masih tampak menguntungkan sejumlah pihak, atau pihak yang dekat dengan rezim penguasa. Hukum masih sering dijadikan alat rezim (subyektif), tanpa didasari alasan yang sah secara normatif, sehingga hal tersebut mengkhianati konsep hukum.

Prof. ISA, seyogiyanya jangan seperti “menepuk air didulang terpecik muka sendiri”. Tentu beliau bisa menilai dan mencermati secara obyektif, bagaimanakah praktek penegakkan hukum dan keadilan era rezim ini. Substansi hukum yang penting adalah patut memuliakan manusia, (Human Dignity). Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia, 1948, pasal 2, antara lain :

“Tidak boleh ada pengecualian terutama atas hak yang dibutuhkan bagi eksistensi manusia untuk hidup lebih bermartabat, termasuk menolak diskriminasi hukum”.

Masih banyaknya kasus hukum yang hanya menimpa ulama dan aktifis oposisi, sebaliknya mereka yang dekat dengan rezim, sampai saat ini masih juga kebal hukum dan tidak diproses hukum, seperti : Ade Armando, Sukmawati Soekarnoputri, Abu Janda, Budi Jarot, Deny Siregar dan Agus Sudirman (penghina HRS, UAS)

Prof. ISA juga menyatakan bahwa, “Jika kritikan yang dilakukan (KAMI), bersifat tendensius dan tidak objektif, bisa mengarah kepada bentuk pelanggaran hukum.”

Tentunya kritikan yang dilakukan oleh KAMI, bukan provokasi dan tendensius, apa lagi berupa kebencian (hatred), ejekan/cemoohan (ridicule), atau penghinaan (contempt).

Jadi kritikan tersebut harus dimaknai demi perubahan perbaikan, kehidupan sosial, ekonomi dan penegakkan hukum yang adil. Apapun bentuk kritikan dari rakyat kepada rezim termasuk kepada presiden, jika sebagai masukan positif dan konstruktif kearah perbaikan kesejahteraan rakyat, tidak dapat dikatakan melawan hukum atau pidana (againts the law). Suatu kritikan juga tidak serta merta dengan mudah dituduhkan sebagai makar (pasal 107 KUHP), jika tidak adanya perbuatan permulaan (unsur perlawanan phisik) dengan persenjataan.

Prof. ISA juga menyoroti tentang masuknya TKA China dan tumbuhnya PKI gaya baru. Faktanya, serbuan masuknya ribuan TKA dari China sangat masive, dan tidak terbendung. Sementara itu kontradiktif, jutaan TKI sendiri masih membludak menjadi penonton dan pengangguran di negerinya sendiri.

Tentang indikasi masih eksisnya ideologi komunis, realitanya tidak terbantahkan, walau komunis adalah idiologi terlarang di negeri ini. Penegakkan dan sanksi hukum masih lemah, atas oknum yang terindikasi komunis. Presiden masih ngotot agar RUU HIP yang bermetamorfosa menjadi RUU BPIP tetap diajukan untuk diproses DPR, walaupun mendapat perlawanan (unjuk rasa) besar-besaran dari rakyat.

 

About Redaksi Thayyibah

Redaktur